31 : Kesimpulannya ....

104 15 37
                                    

"Itu loh, bang, gunanya minta senjata buat apa?" kesal Juna kala Theo malah berlari alih-alih melenyapkan monster yang tiba-tiba muncul itu. Seperti yang dikatakan mereka, monster itu benar-benar keluar dari luka yang disebabkan monster itu. Bahkan, ini juga membuat Juna ikut terkejut dan refleks melempar monster itu ke arah Theo dan Juwi yang tertidur kemudian berteriak. Wajar jika mereka lupa soal senapannya karena panik 'kan?

Bahkan karena rasa panik yang menguasai Theo, pria itu malah refleks mengamankan tas berisi persediaan makanan alih-alih menembak monsternya lebih dulu.  

"Lah iya." Theo menghentikan larinya kemudian menembak dengan tepat sasaran. Tentu, ini membuat Juwi yang sudah kesulitan bernapas, menjatuhkan tubuhnya di atas aspal diikuti Juna yang kini ikut membaringkan tubuhnya di samping Juwi.

"Kayaknya nyawa gue ... bakalan ilang di tangan ... kalian berdua, bukan di tangan ... monsternya." Napasnya masih sangat tersengal. Bayangkan saja, dia langsung berlari saat membuka mata. Padahal dia baru saja mengistirahatkan tubuh. Lalu, dia ketularan efek gila dari kedua pria itu dengan sama-sama tidak menyadari keberadaan senapan yang bersama mereka.

"Tuh kan ... Gue bilang apa ... Kalian ... Bakalan lebih aman kalo ... Gak sama gue," jawab Juna yang napasnya sama-sama masih belum normal.

"Lo ngomong gitu lagi gue tonjok." Juwi menghadapkan wajahnya ke arah Juna, menatapnya kesal sembari menunjukkan kepalan tangannya. Namun, pria itu justru tersenyum dan menurunkan kepalan tangan itu.

"Refleks."

Theo akhirnya ikut bergabung bersama mereka berdua, berbaring di atas aspal dan menatap langit biru yang berhiaskan awan putih. Untuk sesaat, dia berpikir bahwa semua mimpi buruk itu berakhir. Dia juga mulai membayangkan akan setenang apa setelah monsternya benar-benar lenyap. Dia mulai rindu rutinitas menyebalkan dari pekerjaannya. Dia menyesal karena sering mengeluh tiap ada klien. Sekarang dia lebih memilih mengintai target alih-alih diintai monster.

"Gue lebih milih ngerjain soal MTK sebuku deh kalo gini," celetuk Juna diakhiri helaan napas. "Atau mabok soal bahasa Indonesia aja deh."

"Kalo gue sih mendingan tidur. Lo terlalu gak realistis."

"Iya kah? Tapi seriusan, tebak-tebakan di sini lebih susah, Ju." Juna sedikit mendongak untuk bisa melihat Theo yang berbaring dengan kepala yang ada di atas kepalanya. "Bang, lo ngomong kek."

"Saya gak punya tenaga buat ngomong. Lanjutin aja pedekate-nya, saya mau pura-pura budek," ujar Theo kemudian meletakkan tangannya di atas dahi dan berniat untuk memejamkan mata. Bahkan ruang tertutup saja menyimpan ancaman yang besar untuk mereka. Jadi apa salahnya menggunakan ruangan terbuka? Mereka bisa lebih mudah lari jika seperti ini.

"Ah iya, kalo kita pulang selamat, jangan kayak orang asing ya." Theo mulai masuk dalam pembicaraan sepasang anak STM itu. "Saya selama ini gak punya temen."

Juwi tersenyum miris sembari tetap berbaring dan menatap langit. Dia juga sama. Tak punya terlalu banyak teman karena takut akan jadi bahan olokan. Bisa dibilang, Juna dan Theo adalah orang pertama yang membuat Juwi mudah membuka akses untuk berhubungan dengannya. Sebanyak apa pun orang yang mengajaknya berteman, Juwi hanya percaya pada Tasya, Jihan, dan Surya. Sekarang orang yang dia percaya bertambah. Meski sebenarnya dia tak terlalu percaya pada kedua pria aneh itu.

Juna kemudian terduduk. Dia melihat bekas lukanya yang kini tak lagi terdapat akar hitam nan kecil itu. Dia sungguh bertanya-tanya sampai kapan ini berakhir? Dia hanya takut kondisinya malah membuat Juwi dan Theo dalam bahaya meski mereka berdua mengatakan tak mau berpisah dengannya.

"Juna ...." Seakan tahu apa yang dipikirkan pria itu, Juwi mulai memberi sindiran. Dia kemudian terduduk dan menatap tajam pria itu. "Kita bisa jaga diri. Tadi doang otaknya belum kekumpul."

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang