"Eh?" Theo menghentikan langkah kala Juna mendadak merajuk dan duduk di tepi jalan tepatnya di bawah sebuah pohon besar. "Ayo, panas nih."
"Ya justru itu loh, bang, panas," kesal Juna. Bagaimana tidak? Sejak tadi mereka tak beristirahat sama sekali meski matahari benar-benar bersinar terang. Theo terus mengatakan mereka harus segera menemukan tempat persembunyian paling aman karena Juna bisa saja dijadikan bahan percobaan.
"Iya tau gue bisa aja dijadiin bahan percobaan. Tapi caranya itu loh," omel Juna yang tentu membuat Juwi menahan tawa. Masalahnya, Juna mengomel dengan mulut yang terus maju. "Sekarang kita punya senjata loh."
"Iya iya, ayo istirahat." Juwi duduk di samping Juna kemudian memejamkan mata sembari merasakan embusan angin yang menerpa wajahnya. Rasanya cukup menyegarkan.
"Nih." Theo memberikan botol air mineral itu setelah dia lebih dulu minum. Cuacanya memang cukup panas. Namun, dia sungguh takut berpapasan dengan tim patroli. "Kira-kira obatnya ada gak ya?"
"Ada pasti." Juwi memberikan botol itu pada Juna. "Mustahil mereka gak nyiapin obatnya. Kita cuma perlu tau di mana mereka nyembunyiin obatnya."
"Jadi ... Tujuan kita sekarang berubah nih?"
Juwi menggeleng. Tujuan mereka masih sama yaitu pulang dengan selamat. Makanya, mereka butuh obat agar infeksi itu tak terus mengganggu Juna. "Tujuannya masih sama, tapi jalannya nambah. Kita butuh obat buat Juna."
"Kalo ngerepotin, tinggalin aja gue." Juna yang kini menutup botol air mineral, segera membatu kala moncong pistol itu ada di pelipisnya. Namun, dia segera terkekeh karena menyadari refleks Juwi yang benar-benar bagus.
"Ngomong gitu lagi gue tembak beneran."
"Tembaknya pake gini aja, Ju, Will you be my girlfriend?"
"Ogah," jawab Juwi kemudian menurunkan pistolnya. Tentu, ini membuat Theo tertawa sembari menggeleng. Bagaimana bisa Juna sesantai itu saat Juwi mengarahkan pistol padanya?
Juwi dan Theo mengerutkan dahi saat Juna tiba-tiba beranjak. Padahal pria itu yang tadi merajuk ingin segera beristirahat.
"Katanya istirahat."
"Berubah pikiran."
Mereka kembali melanjutkan perjalanan. Meski mereka tak tahu di mana letak laboratorium yang mungkin menyimpan obat penawar, dengan berjalan tanpa arah seperti ini mungkin mereka akan menemukannya.
"Jun, gimana perasaan lo sekarang?" tanya Juwi yang berjalan di belakangnya.
"Gue? Masih sama kok."
Juwi memutar malas matanya kala pria itu mulai senyum-senyum. "Salah nanya gue. Maksudnya suhu."
"Ah ... Karena masih demam jadi kemungkinannya masih lama."
"Bukan karena lo lagi kepanasan 'kan?"
Juna menggeleng dan tersenyum sembari mengulurkan tangan. "Periksa aja sendiri."
"Gak mau, lo modus."
"Yaudah." Juna kembali membalikkan badan dan menghentikan langkah saat menemukan sesuatu. Matanya berbinar sebab hal yang dia lihat bisa dibilang adalah sebuah keberuntungan.
"Asyik! Minimarket!" seru Juna kala melihat papan tanda minimarket tak jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Meski mereka punya persediaan makanan, mereka takkan bisa terus bertahan dengan jumlah makanannya sedikit. Jadi, adanya minimarket dan sejenisnya membuat Juna langsung senang. Dia juga ingin permen.
Namun, rasa bahagia itu lenyap kala mendadak terdengar suara tembakan dari sana. Tentu dengan sigap Theo merentangkan tangan dengan maksud melindungi Juna juga Juwi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [End]
Science Fiction[Proses Penerbitan] "Kita emang bakalan pulang, tapi entah pulang ke rumah atau benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya." Harapan agar Indonesia lebih maju dalam segala aspek, justru malah membawa petaka setelah sampel makhluk yang diyakini seb...