45 : Serangan Tak Terduga

74 16 0
                                    

Yona terus menggerutu karena sebagian besar dari mereka malah setuju untuk tak meninggalkan mereka yang terinfeksi. Dia benar-benar tak mengerti mengapa yang lain malah siap mempertaruhkan nyawa demi mereka yang kemungkinan malah akan berakhir menyakiti mereka. Bagaimana jika mereka yang terinfeksi malah berubah menjadi monster sungguh? Ah, dia sungguh rasanya ingin pulang duluan. Namun, dia juga takut jika mencari jalan keluar sendirian.

"Lo komat-kamit mulu biar monsternya gak ke sini kah?" tanya Jimmy yang kebetulan berjalan di sebelahnya. Namun, Yona memilih untuk tak menjawabnya. Dia memilih diam sembari melanjutkan perjalanan. 

Kondisi kota yang biasanya dipenuhi orang-orang yang beraktifitas di jam seperti ini, kini hanya sebuah kenangan. Bangunan-bangunannya pun sudah hancur akibat pemusnahan bertahap yang dilakukan oleh pemerintah. Andai saja internet atau sinyal ada, mungkin mereka bisa tahu segala perkembangannya. Namun, sayang sekali mereka hanya bisa pasrah. Bahkan untuk menerka saja mereka merasa tak bisa karena segala hal yang direncanakan pemerintah mungkin saja jauh dari apa yang mereka pikirkan.

"Sekarang patokannya jadi lebih abu-abu." Danti mengembuskan napas sembari mengedarkan pandangan. Dia benar-benar mencoba untuk mengingat jalan atau patokan yang dia lihat jika sedang beristirahat. Begitu pun dengan Mona. Namun, karena beberapa gedung hancur, mereka benar-benar sulit untuk mengetahui patokannya.

Juna mengembuskan napas. Dia mencoba naik ke tempat yang agak tinggi setidaknya agar menemukan plang atau apa pun yang bisa membantu mereka. Bahkan, dia sampai menaiki puing-puing bangunan yang runtuh untuk mencarinya.

"Heh, kamu ngerasa punya nyawa 10?" tanya Theo saat pria itu naik tanpa ragu. Masalahnya, terlalu banyak hal yang membahayakan Juna jika dia terjatuh. 

"Bjir!" Juna yang tadi nampak keren, kini berubah. Dia segera merendahkan diri dan berakhir duduk di atas pijakannya tadi. Dia tak sadar sudah naik setinggi ini. 

"Kebiasaan," ujar Naya sembari menggeleng. Dia kemudian melangkah untuk membantu sang adik. Sungguh, dia juga tak menduga sang adik akan takut setelah ada di atas sana. Beruntung dia sama sekali tak takut pada ketinggian. Jadi, dia bisa dengan sangat mudah menjemput Juna.

"Kayaknya kita harus cari kendaraan dulu." Nathan melangkah lebih dulu. Memang, rasanya akan lebih sulit sekarang. Bukan karena kendaraannya yang tak ada. Namun, jalan yang tak memungkinkan untuk dilewati karena runtuhan bangunan yang menghalangi jalan. 

"Ini seriusan sinyalnya bakalan tetep ilang kah? Susah banget buat nyari lokasi pasti laboratoriumnya," gerutu Jimmy sembari memukul-mukul ponselnya. Dia sudah sangat frustrasi karena terus berjalan tanpa arah malah akan membuat mereka semakin lama menemukan penawarnya.

Raisa hanya menghela napas kemudian menggeleng. Tentu saja sinyal takkan ada sampai semua masalah ini membaik. "Lo pikir aja bakalan seheboh apa orang Indo. Yang ada, satu dunia bakalan tau soal ini. Apalagi kalo ada oknum-oknum FOMO kayak lo."

Mereka masing-masing mencoba mencari cara untuk ke laboratorium. Entah dengan mencari patokan atau mencari kendaraan. Mereka benar-benar bekerja sama agar tujuan mereka bisa segera tercapai dan bisa kembali ke rumah dalam waktu dekat. Bohong jika mereka sama sekali tak merindukan orang tua atau keluarga mereka. Mereka hanya mencoba menutupi segalanya dengan baik.

"Kendaraan kayaknya terlalu gak memungkinan. Kita harus pergi ke tempat yang minim kerusakan," ujar Jihan yang tadi sempat mencari kendaraan bersama Surya.

"Patokannya juga belum keliatan. Mungkin kalo kita jalan dulu, patokan lain bakalan ada. Area sini terlalu parah kerusakannya," sambung Nathan yang juga baru saja kembali. Memang, area tempat mereka berada saat ini, kerusakannya cukup parah karena penggunaan bom sebagai cara untuk memusnahkan monster itu. Padahal, bisa saja masih ada orang yang selamat di sekitar sana. Namun, nampaknya pemerintah takkan peduli sama sekali. Bahkan sebelumnya saja mereka ditolak untuk masuk ke pengungsian dengan alasan akan menyebarkan monster yang baru.

Dor!

Suara tembakan yang diloloskan Juwi secara diam-diam, tentu membuat yang lainnya terkejut. Bagaimana tidak? mereka sedang memikirkan cara terbaik apa yang bisa mereka pilih agar bisa keluar secepatnya dari situasi ini dan Juwi secara tiba-tiba meloloskan satu peluru tanpa aba-aba.

Juwi tersenyum tanpa dosa kemudian menurunkan senjatanya. "Abisnya ada yang ngintipin kita diskusi. Jadi gimana? Ada solusi lain?"

***

"Tau ah gue cape sumpah." Juna mendadak mogok untuk melanjutkan perjalanan. Masalahnya, mereka sudah berjalan cukup lama dan Theo sebagai pemimpin kelompok malah sama sekali tak memberi istirahat. Setidaknya agar tak ada sesuatu yang tidak diinginkan. Apalagi, mereka belum sempat memakan sesuatu. Bagaimana jika ada yang pingsan? Akan sangat merepotkan 'kan?

Juna segera mengusap kepala bagian belakangnya saat Juwi memukulnya dengan moncong senapan. 

"Gak sengaja. Lagian siapa suruh duduk di situ," ujar Juwi diakhiri juluran lidahnya sebagai ledekan. Padahal bukan hanya pria itu yang lelah. Semuanya juga lelah termasuk dirinya. Namun, ini sungguh bukan saatnya untuk manja. Setidaknya sebelum menemukan kepastian, mereka harus menguatkan diri.

"Juna bener sih. Laper nih gue," ujar Jimmy sembari mengedarkan pandangan dan berharap akan ada tempat yang bisa mereka datangi untuk sekadar mendapat makanan. Namun, nampaknya sejauh mata memandang, dia sama sekali tak menemukannya. Padahal mereka sudah berjalan cukup jauh. Sepertinya pemerintah memang benar-benar serius soal pemusnahan bertahap itu.

"Tunggu." Theo berbalik setelah memerhatikan sekitar. "Kalian ngerasa ada yang aneh gak?"

Pertanyaan yang dilontarkan Theo hanya mengundang rasa bingung dari semuanya. Apa yang aneh? Mereka bahkan tak memikirkan apa pun selain tujuan mereka. 

"Aneh?" tanya Naya balik.

"Ngerasa gak sih? bom yang dari kemaren dipake itu, letaknya gak berjauhan. Apa laboratoriumnya gak terlalu jauh dari sini?" Ucapan Theo nampaknya cukup menarik hingga membuat yang lainnya lebih mendekat. "Logikanya, mereka bakalan nyerang tempat yang jadi sarang utama monsternya 'kan? Saya rasa monster itu lebih dulu bikin sarang di sekitar laboratoriumnya."

Sebagai seseorang yang sudah sangat terbiasa dengan hal-hal seperti ini, tentu Theo bisa dengan mudah menebak atas dasar pengamatannya. Tidak sia-sia dia berkarier sebagai detektif swasta selama bertahun-tahun. 

"Kemungkinannya sih bisa aja kayak gitu," ujar Nathan sembari mengedarkan pandangan. Biasanya mungkin ada ciri-ciri seperti papan nama atau semacamnya. "Gimana kalo labnya udah hancur?"

Danti mengedarkan pandangan. Memang sulit untuk mencari patokan yang tepat di sana. Namun, yang dia temukan justru yang lain. Matanya tak sengaja berpapasan dengan seseorang yang nampaknya berasal dari tim satgas khusus untuk menangani masalah serius ini.

Dor!

Timah panas itu melesat, mengenai lengan Yona yang kemudian membuat yang lainnya segera waspada. Mereka benar-benar tak menyangka mereka malah akan diserang alih-alih dilindungi.

Theo, Juna, Juwi, serta Raisa menjadi tameng. Mereka meminta yang lainnya untuk melarikan diri lebih dulu sementara mereka berjaga agar tim khusus itu tak lebih mendekat.

"Cepet!" ujar Theo sembari membantu Yona untuk kembali. Gadis itu malah melamun sembari memegang lengannya yang kini sudah berdarah alih-alih melarikan diri bersama yang lain.

Dor!

Tembakan yang diloloskan oleh Raisa sebenarnya tak ditembakkan langsung pada tim khusus itu. Dia menembak puing-puing yang kebetulan ada di dekat tim itu berdiri. Namun, itu sudah lebih dari cukup untuk tim tersebut tak lebih mendekat. Jadi, mereka punya waktu untuk melarikan diri.

Theo menarik lengan Raisa secara reflek saat mendapati sebuah peluru melesat ke arahnya hingga keduanya terjatuh dan membentur puing-puing itu. "Kamu gak kenapa-napa 'kan?"

"Gapapa, ayo, di sini beneran gak aman." Raisa beranjak lebih dulu kemudian mengulurkan tangannya untuk membantu Theo. Memang, tangannya terasa sangat perih karena terluka. Namun, dia bisa menahannya. Yang terpenting saat ini adalah melarikan diri.

"Mereka sembunyi di mana?" tanya Raisa sembari mengedarkan pandangan karena kini hanya tersisa mereka berdua.

"Sembunyi dulu. Mereka pasti gak akan jauh dari sini."

*****

fyi, Pulang udah ada yang pinang nih, jangan lupa nabung buat peluk versi fisiknya yaa xixi

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang