40 : Jujur Atau Pergi

130 16 30
                                    

"Eh?" Surya berusaha untuk kembali menyalakan mesin mobil itu. Namun, sayang sekali sekeras apapun dia berusaha, mesin mobilnya tak mau menyala. 

"Bensinnya beneran abis?" tanya Jihan yang kebetulan duduk di kursi samping kemudi. Dia kemudian menyorot indikator mobil tersebut lalu menghela napas saat panahnya memang menunjukkan sudah tak ada lagi bensin yang bisa digunakan untuk mobil itu. Mereka bukannya tak memperhatikan persediaan bahan bakar. Hanya, kebetulan satu-satunya tempat pengisian bahan bakar yang mereka temui dalam perjalanan, tak berfungsi. Tentu saja tak berfungsi karena pemutusan listrik yang masih berlangsung sehingga mesin-mesin SPBU yang ada benar-benar tak bisa membantu. 

"Jadi, kita harus jalan kaki?" tanya Juna yang diakhiri dengan decakan. Namun, tak berselang lama, dia kemudian mengaduh kesakitan karena Naya menjewer telinganya. 

"Kayaknya mulai dari sini kita harus jalan. Dan, kalo dari sini udah deket belum?" tanya Naya sembari mencoba mencari tahu saat ini mereka ada di mana. Matahari belum terbit. Jadi, dia sama sekali tak bisa melihat patokan mereka ada di mana saat ini.

Suara ketukan membuat mereka cukup terkejut. Bagaimana tidak? Semua orang yang ada dalam mobil itu sibuk memikirkan solusi terbaik untuk masalah mereka saat ini. Kemudian, secara tiba-tiba Theo malah mengetuk kaca mobilnya.

"Ada masalah?" tanya Theo setelah Jihan menurunkan kaca mobil yang ada di sampingnya. "Kenapa tiba-tiba berhenti?"

Jihan akui Theo memang punya keberanian yang begitu besar. Bahkan saat dia sorot dengan senter, pria itu sama sekali tak membawa senjata. 

"Tolong turunin senternya. Silau nih."

"Ah ... maaf." Jihan terkekeh sembari menurunkan senternya. "Bensinnya habis. Jadi ... selanjutnya mungkin kita harus jalan kaki."

"Lagi? Astaga ...." Theo mengusap wajahnya. Tiba-tiba cuplikan dirinya terus berlari sebelumnya, membuatnya bergidik. Sungguh, dia tak mau menghadapi situasi yang sama. Apalagi, ada orang gila selain Juna. Bisa-bisa dirinya harus berlari tanpa henti nantinya. "Gak ada solusi lain?"

"Terbang? Yakali aja," ketus Raisa setelah dirinya turun dari mobil. Dia membantu yang lain dengan menyorot senter ke arah bawah agar tak ada yang terjatuh saat turun. "Kecuali kalo bapak pengen terus di sini sambil nunggu keajaiban bensinnya bisa keisi sendiri. Kalo saya sih realistis."

"Saya bukan bapakmu."

"Mana saya peduli."

Theo menghela napas sebelum kemudian melangkah menuju mobilnya. Dia meraih senapan yang ada di kursi kemudi dan membuat Nathan mengerutkan dahi. "Mobil satunya keabisan bensin. Jadi, kita juga bakalan ikut jalan."

"Sumpah? Ini gak ada di rencana loh," ujar Yona diakhiri dengan tangannya yang dilipat. Bersama dengan orang-orang yang terinfeksi saja sudah sangat berbahaya. Lalu sekarang? Kemungkinan hidup mereka rasanya terlalu tipis. 

"Terserah sih, kalo gak mau ikut juga gapapa sih. Ngurangin beban," ujar Theo kemudian membuka pintu dan menyorot senter ke bawah sembari memegang tangan orang-orang yang akan turun. 

Ucapan Theo tentu langsung membuat Yona agak tersinggung. Memang, tim mereka cukup besar. Namun, dengan mengatakan hal seperti itu padanya benar-benar tak dapat diterima. Apalagi sejak awal dirinya sama sekali tak menyulitkan yang lain. Bagaimana bisa Theo mengatakan dirinya adalah beban?

"Hati-hati," ujar Theo saat membantu Tasya turun. Dia juga membantu yang lainnya dengan mengulurkan tangan agar tak terluka. Akan lebih menyulitkan jika ada yang tiba-tiba terluka diantara mereka. Dia juga menghitung jumlah orang yang turun agar tak ada satu pun yang tertinggal. 

"Saya bakalan buktiin kalo saya bukan beban." Yona tak meraih tangan Theo untuk turun. Dia langsung melompat kemudian menyusul yang lainnya. 

Theo tersenyum sebelum kemudian menutup pintu mobil setelah memastikan semua yang orang yang bersamanya, sudah turun semua. Kemudian, dia beralih ke pintu bagasi. Dia mengambil beberapa persediaan yang memungkinkan untuk dibawa. Mungkin kedengarannya agak tak masuk akal dengan jumlah tim yang tak sedikit. Namun, menurutnya itu lebih baik. Mereka harus mengurangi hal yang bisa menghambat mereka untuk berlari karena tak ada yang tahu apa yang terjadi ke depannya. Jadi, akan lebih baik jika mereka mengurangi persediaan yang mereka bawa.

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang