50 : Ayo Kita Pulang

164 17 15
                                    

Dor!

Suara tembakan yang sengaja dilepaskan ke atas itu sukses membuat mereka terkejut. Bahkan, hal yang lebih mengejutkan bagi mereka adalah saat Jimmy dengan rasa kesalnya, menodongkan moncong senapan ke pelipis Theo. Namun, bagi Yona ini malah hal yang menjengkelkan. Mereka sudah berkali-kali mengatakan bahwa lebih realistis jika mereka memilih meninggalkan mereka yang terinfeksi. Apalagi, tidak ada jaminan orang-orang yang terinfeksi tidak akan menyakiti mereka.

"Lo apaan banget sih?" Yona mendorong moncong senapan itu. Dia merasa mereka tak sepenuhnya salah. Bagaimana bisa mempertahankan nyawa sendiri menjadi sebuah kejahatan? Apalagi, hasil penelitian yang Juna temukan, jelas memberikan informasi soal potensi evolusi orang yang terinfeksi memang sangat tinggi.

"Lo yang apaan. Lo ninggalin yang lain," kesal Jimmy.

"Alesannya udah realistis banget tadi. Kita gak mungkin terus barengan sama yang udah terinfeksi."

"Oh ... Jadi dengan gitu lo bisa bakar laboratorium gitu aja meski yang lainnya masih di dalem? Lo gila, sumpah."

Sementara mereka masih beradu argumen, Raisa mencoba untuk kembali masuk ke laboratorium. Dia sama sekali tak menemukan sang kakak sejak tadi. Dia yakin Kakaknya masih terjebak di dalam kobaran api yang masih menyala.

"Lepasin gue!" bentak Raisa saat Surya mencoba untuk menghentikannya.

"Lo gila?"

"Gue gak akan mati meskipun masuk ke sana." Satu-satunya hal yang membuat Raisa bersyukur setelah terinfeksi adalah kemampuannya sembuh dari luka dengan cepat. Selebihnya tidak ada. Apalagi soal darahnya yang bisa menghasilkan setidaknya 1 monster dalam waktu 24 jam. Itu akan membuatnya kesulitan untuk beraktifitas layaknya manusia normal. Apalagi memang tak ada jalan keluar kecuali membunuh dirinya. Namun, dia juga tak mau melakukannya setidaknya untuk saat ini.

"Sa, jangan gila deh."

Raisa melepas cengkraman tangan Surya kemudian melangkah untuk kembali masuk ke laboratorium yang masih terbakar itu. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar suara teriakan dari arah belakang. Matanya membulat saat mendapati mereka berlari untuk menyelamatkan diri dan mendapati sang kakak ada di sana dengan wajah penuh rasa marah. Bahkan, Danti sudah terduduk sembari memegangi bagian perutnya yang sudah mengeluarkan darah.

Dor! Dor! Dor!

Raisa yang berniat menghampiri, segera menghentikan langkah saat suara senapan terdengar . Dengan mata yang berkaca-kaca serta jantung yang terasa berhenti detik itu juga, Raisa menghentikan langkah. Lututnya terasa lemas saat mendapati sang kakak langsung terhuyung dan tersungkur di atas tanah setelah beberapa tembakan yang dilakukan oleh Nathan. Dia tahu itu mungkin dilakukan sebagai bentuk perlindungan diri. Namun, dirinya tetap merasa kecewa sebab tanpa memikirkannya, seolah nyawa sang kakak tak ada artinya sama sekali.

"No no no!" Raisa membulatkan mata kemudian berlari sekencang yang dia bisa saat mendapati sang kakak terlihat marah. Dia pikir tembakan itu berhasil melumpuhkan sang kakak. Dia mendadak lupa soal anti bodi super yang bercampur dengan darah mereka begitu tubuh yang terinfeksi bisa menerima racun milik monster itu.

Kemarahan yang sempat berapi-api di mata Rendra seketika padam saat mendapati sang adik berada di hadapannya. Dia menurunkan pandangannya dan mulai berkaca-kaca saat mendapati tajamnya tangannya, menusuk tubuh sang adik. Bahkan, dia bisa merasakan rasa sakit dari tatapan Raisa. 

Pemandangan ini tentu saja membuat Jimmy yang kebetulan hampir jadi sasaran Rendra, merasa lemas. Bukan hanya itu, Jimmy juga merasa detak jantung serta napasnya terhenti sejenak sebab berpikir dirinya akan mati begitu saja. Apalagi, darah milik Raisa juga menyiprat ke wajahnya sehingga semakin menambah rasa syok dalam dirinya.

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang