Jihan melihat satu persatu korban yang kini dijajarkan oleh mereka. Dia sama sekali tak menemukan 3 mahasiswa yang hilang di sana. Artinya, sejak awal mereka tak ada di tempat pengungsian itu.
Jihan mengerutkan dahi saat sesuatu muncul dari luka yang didapatkan orang-orang itu. Terlihat seperti cacing-cacing parasit, membuat Jihan terkejut apalagi saat kakinya diraih oleh cacing-cacing itu dan sulit untuk dilepas.
"Jihan!" Raisa segera menghampiri. Gadis dengan rambut coklat itu menarik Jihan agar bisa terlepas dari jerat parasit yang entah mengapa bisa tiba-tiba muncul.
Lagi, suara tembakan terdengar, membuat Jihan serta Raisa memalingkan wajah. Bahkan, tubuh mereka juga sempat tersentak karena suara kerasnya.
Baru saja mereka menghela napas lega, mereka dikejutkan dengan cacing parasit lain yang lagi-lagi mengincar Jihan. Apalagi, gadis itu memang berada sangat dekat diantara mayat-mayat itu. Semakin Jihan bergerak, semakin parasit-parasit itu menjeratnya.
"Mengorbankan satu orang demi nyawa yang lebih banyak itu pilihan tepat. Dengan begitu, kita bisa tau apa parasit itu berbahaya atau tidak."
Ucapan itu tentu membuat Surya semakin marah. Bagaimana tidak? Mereka bukannya melindungi, malah membiarkan Jihan yang jelas-jelas berada dalam bahaya. Bahkan, kali ini dia sama sekali tak bisa merebut senjata dari mereka.
"Mungkin aja parasit itu tidak terlalu berbahaya. Saya yang akan tembak parasit itu, jika teman kamu semakin dalam bahaya," lanjut pemimpin pasukan itu.
Teriakan minta tolong itu terdengar. Namun, tak ada satu pun yang berani mendekat. Padahal, mereka bisa menyelamatkan Jihan dengan menembak inang parasit-parasit itu.
Dor!
Suara tembakan itu terdengar, salah satu anggota nampaknya memilih untuk tak mendengarkan perintah atasannya. Pria dengan tanda pengenal 'Fajrin Febriansyah' itu tak bisa membiarkan nyawa lain melayang setelah hampir 20 orang pengungsi di sana meregang nyawa karena makhluk aneh yang mereka incar. Fajrin tahu, atasannya takkan mungkin membiarkan nyawa gadis itu melayang begitu saja. Prioritas mereka adalah melindungi rakyat. Namun, melihat gadis itu menangis, dirinya benar-benar tidak sanggup.
Surya benar-benar merasa lututnya sangat lemas. Gadis itu hampir 2 kali terluka di depan matanya. Namun, dia bersyukur kali ini Jihan masih bisa diselamatkan.
"Han, ayo." Raisa menarik Jihan untuk menjauh dari sana. Dia sama syoknya dengan Jihan. Beruntung, sahabatnya bisa selamat. Padahal dia sudah berpikir Jihan takkan selamat karena parasit-parasitnya sudah sangat menjerat kaki gadis itu. Bahkan, tubuh Jihan sudah berkali-kali ditarik.
Jihan mengerutkan dahi saat seseorang mengulurkan tangannya. Dia kemudian menyambut uluran tangan Surya. Namun, dia meringis saat kakinya justru terasa ngilu. Sepertinya terkilir karena parasit-parasit itu menarik kakinya tadi.
Jihan memasang wajah kesal kala yang dia dapat bukan perlakuan manis. Namun, sebuah jitakan yang malah dia terima. Tentu ini mengundang desisan kesal dari gadis tersebut. "Temennya baru lolos dari maut loh."
"Kenapa gak sekalian pasrah aja tadi?"
"Gue cuma mau mastiin mereka gak disembunyiin di sini," ujar Jihan dengan suara yang kecil. Dia tentu tak mau ada yang mendengar dan mengetahui kecurigaan mereka.
Yoongi menghela napas kemudian membalikkan tubuhnya. "Naik, kita pergi aja dari sini."
Seharusnya ini terlihat manis. Jika dalam drama romantis-komedi yang sangat Jihan sukai, dia benar-benar akan meleleh. Anak zaman sekarang sih, menyebutnya dengan kata 'mleyot'. Namun, Jihan malah tertawa karena teringat satu adegan lucu yang berhubungan dengan adegan saat ini. Otaknya serasa dejavu, melihat Surya berlutut di hadapannya untuk menggendongnya di punggung.
"Masih bisa ketawa?"
"A, dari pada nyusruk nih, entar malu." Jihan sudah berusaha keras menahan tawa. Namun, tetap saja tak bisa. Dia tak mengerti apa berat badannya yang terlalu berat, atau Surya yang memang lemah? Sampai detik ini, dia masih tak mengerti alasan yang sebenarnya.
"Pelan-pelan heh!" Satu hal yang Jihan kurang sukai dari Surya adalah ini. Pria itu takkan banyak bicara. Bahkan tanpa aba-aba pria itu malah langsung menyentuh kakinya.
"Kayaknya kita ke tempat yang jauh dulu deh. Gimana kalo parasitnya muncul lagi?" tanya Raisa sembari sesekali menoleh ke arah mayat-mayat. Parasit mengerikan yang menarik Jihan tadi sudah cukup membuatnya bergidik ngeri.
"Kalian gapapa 'kan?" tanya seorang tentara yang tadi membantu Jihan. Wajah rupawan yang dimiliki pria itu, tentu membuat Jihan tersenyum. Apa dia akan mengalami kisah-kisah romantis seperti yang ada di dalam drama? Otaknya bahkan sampai berhalusinasi membayangkan bagaimana jadinya jika dia menikah dengan tentara itu. Dia yakin usia mereka tak terlalu jauh.
"Halu."
Jihan berdecak setelah Surya mengusap wajahnya.
"Lo masih sempet-sempetnya ngehalu? Gue akui lo emang rada di luar nurul."
Surya mengerutkan dahi kala tentara itu malah menitipkan senjata padanya kemudian berlutut di hadapan Jihan agar bisa menggendongnya di punggung. Ajaibnya, gadis itu langsung mengiyakan dan benar-benar naik ke punggungnya.
"Lama-lama lo ke monsternya juga bakalan percaya kayaknya."
"Dih sewot banget jadi orang."
***
Biasanya, Juwi akan sangat menyukai supermarket. Dia sangat menikmati waktu belanjanya meski itu untuk keperluan satu rumah. Namun, dia memilih melakukannya alih-alih membereskan rumah. Selain untuk kabur sejenak dari kesesakannya di rumah, melihat rak-rak serta produk berjajar rapi, cukup membuatnya tenang.
Sekarang dia malah merasa akan lebih baik jika dia membereskan rumah dibanding pergi ke supermarket. Bahkan suara sekecil apa pun yang dia dengar, benar-benar membuatnya sangat waspada.
"Hati-hati." Pria itu mengulurkan tangan untuk membantu Juwi. Nampaknya saat mereka bersembunyi, seseorang telah terbunuh di eskalator itu. Darahnya terlihat masih segar, membuat Juwi benar-benar pusing melihatnya. Apalagi disertai bau amis yang cukup menyengat.
"Karena kita gak tau kondisi ini sampe kapan, yang gue pelajarin di drama atau film dengan genre gini, kita harus bawa persediaan makanan."
Sungguh, meski ide itu yang terbaik, Juwi malah memilih untuk kelaparan saja. Ketenangan yang ada di sana malah membuatnya takut akan ada lebih banyak makhluk menyeramkan itu.
Juna mengedarkan pandangan hingga matanya tertuju pada tempat mesin ATM berada. "Karena kaki lo masih sakit, gue aja yang masuk. Lo tunggu di sana."
"Lo gila?"
"Mereka emang manggil gue gitu." Juna menunjuk kotak kaca itu dengan alisnya. "Lo tunggu di sana."
Juwi hanya tak mau hidup dalam rasa bersalah jika nantinya sesuatu yang buruk terjadi pada pria itu. Hal ini juga yang pada akhirnya membuat Juwi memutuskan untuk ikut dengan Juna meski sangat takut pada makhluk aneh itu.
"Gue janji deh bakalan nyusulin lo." Juna mengulurkan jari kelingkingnya. Namun, karena gadis itu tak kunjung menyambutnya, dia menarik tangan gadis itu dan mengaitkan kelingking mereka sembari tersenyum. "Gue punya pengalaman ikut tawuran. Jadi ... Gue janji bisa pastiin gue akan kembali dengan selamat."
"Gue paling gak suka ngutang ke orang lain apalagi ngutang nyawa. Gue tunggu lo."
"Sip. Gue bakalan bawa sebanyak mungkin hal yang pasti kita butuhin." Pria yang masih mengenakan seragam dan balutan jaket angkatan. Pria itu dengan santai masuk sembari membawa sebuah payung yang akan dia gunakan sebagai senjata.
"Gue harap dia bisa tepatin janjinya."
*****
Waduh kepisah nih👀
4 Sep 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [End]
Science Fiction[Proses Penerbitan] "Kita emang bakalan pulang, tapi entah pulang ke rumah atau benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya." Harapan agar Indonesia lebih maju dalam segala aspek, justru malah membawa petaka setelah sampel makhluk yang diyakini seb...