42 : Berpencar

86 14 0
                                    

Nathan memberi isyarat agar yang lainnya menghentikan langkah dan tidak membuat suara apa pun. Dia kemudian melangkah dengan perlahan untuk memastikan ruangan yang akan mereka masuki, aman. Tak dapat dia pungkiri, sebenarnya dia juga takut untuk memimpin. Apalagi, yang mereka hadapi bukan sembarang makhluk hidup. Namun, karena dirinya satu-satunya pria dalam tim tersebut, bagaimana bisa dia membiarkan yang lainnya menjadi pemimpin?

"Lama," ujar Jihan yang kemudian membuka pintu ruangan yang akan mereka masuki. Memang, risikonya sangat besar. Namun, jika mereka terlalu lama di sana, yang ada mereka akan jadi incaran monster itu jika memang sejak tadi pergerakan mereka diintai.

Suara sesuatu bergerak dari arah kanan membuat Jihan, Nathan, Mona, serta Miranti membatu. bahkan, Jihan sampai menelan berat salivanya saat merasa suaranya memang mengarah ke arah mereka. Hingga kemudian dia menarik tangan Mona serta Miranti hingga terjatuh saat sesuatu yang mirip dengan cacing yang selalu muncul saat ada seseorang yang terinfeksi, mengarah pada mereka. Bedanya, ukurannya kali ini lebih besar.

Nathan yang kini sudah sangat menempel pada dinding, hanya bisa menelan salivanya dengan keringat yang mulai membanjiri dahinya. Sungguh, dia sampai menahan napas agar parasit itu sama sekali tak menyadari kehadiran dirinya di sana. Akan sangat berbahaya jika dirinya sampai membuat suara sekecil apapun sebab makhluk tersebut sangat sensitif terhadap suara. Beruntung makhluk aneh itu tak bisa melihat. Jadi, hanya dengan menahan napas, itu sudah lebih dari cukup untuk tetap selamat.

Jihan mengedarkan pandangan untuk mencari benda yang mungkin bisa membantu mereka. Hingga kemudian dia memilih untuk melempar senapan yang seharusnya dia lindungi hingga akhir. Dia tahu, tindakannya terlalu gegabah. Namun, dia sama sekali tidak bisa membiarkan Nathan terus menahan napas agar tak ketahuan oleh monster itu.

"Lo gila?" tanya Mona secara spontan karena hal yang dilakukan Jihan benar-benar di luar nalar. Namun, hal tersebut malah membuat tentakel monster yang mengarah ke arah Jihan melempar senapan, berbalik lagi ke arah mereka. Tentu, ini membuat mereka lagi-lagi harus menahan napas. Hingga kemudian Miranti dengan cepat ikut melempar senapannya ke arah senapan Jihan tadi dilempar agar mereka bisa masuk dan bersembunyi di ruangan itu.

Jihan menoleh ke arah Miranti, mengangguk sebagai kode karena sangat tidak memungkinkan untuk menggunakan suara. Segera mereka beranjak dan masuk ke ruangan yang tadi hendak mereka periksa lebih dulu sebelum masuk. Namun, saat ini mereka beanr-benar tak punya pilihan selain langsung masuk pada ruangan yang bahkan belum tentu aman itu. Bahkan, mereka segera membulatkan mata kala tentakel yang tadi sempat meneror mereka, memaksa masuk dan membuat pintunya berlubang. Meski tubuh mereka yang bersandar tak cukup, namun mereka berhasil melewati krisis tadi meski dengan keringat yang membanjiri tubuh mereka.

Tubuh mereka merosot kala tak ada lagi dorongan paksa dari luar. Lutut mereka benar-benar lemas karena hal tadi cukup menegangkan.

Mata Jihan membulat kala mendapati sosok monster dengan bentuk berbeda, ternyata ada di hadapan mereka. Bentuknya seperti gumpalan daging. Bahkan terlihat berdetak hingga membuat mereka merinding.

"Awas!" Beruntung Miranti bisa membaca situasi dengan cepat. Dia meminta Mona tiarap serta membuat yang lainnya ikut melakukannya.

Dor! Dor! Dor!

Nathan mencoba menembak monster itu agar berhenti menyerang mereka. Namun, kemampuan menembaknya yang minim, segera hilang karena rasa takut lebih menyelimutinya.

"Mira!"

Jihan mencoba melepaskan gadis itu dari cengkraman tentakel makhluk aneh itu. Namun, tentu saja tenaganya tak bisa dibandingkan dengan makhluk itu. "Nath."

Pria itu melempar senapannya agar Jihan bisa menyelamatkan Miranti. Kemudian, dia berlari keluar dengan tujuan mencari bantuan.











"Masih belum bisa?" tanya Juwi sembari memegang erat senapannya. Sesekali dia juga mengedarkan pandangan untuk memastikan tak ada monster yang bisa menyentuh mereka. Namun, sebisa mungkin mereka harus menghemat peluru. Bukan hanya karena persediaan peluru mereka. Melainkan agar tak mengundang monster lain karena suara yang muncul karena pelurunya lolos.

Juna yang sejak tadi mencoba membobol pintu itu, hanya bisa menggeleng. Dia sama sekali tak bisa membobol pintunya dengan tangan kosong. Mereka juga tak bisa menemukan alat yang memungkinkan untuk membantu mereka.

"Biasanya ada di mana?" tanya Juna sembari beranjak.

"Di gudang, mungkin?" ujar Jimmy tak yakin. Masalahnya, dia juga tak tahu letak alat-alat yang biasanya digunakan untuk membongkar sesuatu.

"Gak ada pilihan." Juna mengambil alih senapan yang dia titipkan pada Juwi sebelumnya dan melangkah. Tentu saja ini membuat Jimmy bertanya-tanya apakah mereka juga harus meninggalkan lantai itu?

Juna menghentikan langkah saat merasa tak semua anggota tim misinya kali ini tak ikut dengannya. "Mau di sini sendirian?"

"Kita harus di sini 'kan? Gimana kalo Harsa sama Tasya ke sini?" tanya Jimmy yang kini masih berdiri di tempat yang sama sembari memeluk senapannya.

"Gak ada pilihan. Apa ... abang pikir bakalan tetep aman makanya pilih di sini?" Juwi berdecih mengetahui bagaimana Jimmy memilih tim itu. Pantas saja dibanding yang lain, Jimmy menjadi orang yang paling antusias untuk menjadi tim yang membuka pintu itu. Sekarang dia tahu alasannya apa.

"Kita butuh alat. Gak mungkin kita dobrak paksa karena kayaknya emang ada sesuatu di balik pintunya."

***

Theo meringis melihat bagaimana setiap sudut ibu kota terlihat sangat mengerikan dari atas sana. Mobil-mobil yang berserakan serta makhluk-makhluk yang terkadang muncul, membuatnya mulai berpikir mungkin saja takkan ada jalan untuk keluar dari zona berbahaya itu.

"Oh?" Danti menyipitkan mata saat menyadari sesuatu. "Itu ... mereka lagi ngapain sih?"

"Maksudnya?" tanya Surya yang sama sekali tak mengerti dengan apa yang dibicarakan Danti.

Gadis dengan penglihatan tajam itu, mendapati sebuah pergerakan aneh. Dia bisa melihat sebuah mobil berjalan lambat dengan seseorang yang terus masuk serta keluar di beberapa tempat yang seakan sudah ditandai sebelumnya.

"Apa ...."

"Gak mungkin sih," sela Theo kemudian merogoh sakunya dan memeriksa apakah kali ini internet atau sinyal ada? Ternyata masih belum ada. Padahal dia memerlukan sebuah informasi soal apa yang terjadi di sana.

"Tapi gak menutup kemungkinan pemerintah bakalan lakuin sesuatu sebelum penyebarannya meluas 'kan? Kalo iya ...." Danti menutup mulutnya tak percaya. Dia tahu kedengarannya seperti dirinya terlalu berimajinasi. Namun, mengingat bagaimana pemerintah menutup-nutupi soal makhluk aneh itu, tidak menutup kemungkinan pemerintah akan diam-diam memusnahkan ibu kota 'kan?

"Kita harus cepet-cepet pergi dari sini. Nyari seseorang yang belum tentu selamat, ngapain banget?" Yona melangkah untuk kembali ke lantai awal. Menurutnya, lebih masuk akal untuk menyelamatkan diri sendiri alih-alih mencari seseorang yang belum tentu bisa ditemukan selamat itu.

"Sekali lagi lo ngebacot yang gak penting, gue gak segan ambil nyawa yang lo sayangin itu." Raisa sebenarnya sudah sangat kesal sejak awal. Dia juga berpikir seharusnya Yona adalah orang yang lebih dulu terluka karena sifatnya yang cenderung egois. Namun, gadis itu malah mendapat keberuntungan sampai detik ini.

Yona hanya berdecih seakan sebuah senapan takkan membuat dirinya langsung takut. Lagipula, Raisa takkan berani menembaknya begitu saja. "Wajar sih lo mau nyelamatin mereka. Lo sama-sama udah keinfeksi."

Theo menghela napas kemudian menurunkan moncong senapan yang Raisa arahkan pada Yona. "Udah ah kita harus nemuin Tasya, sama Harsa lebih dulu. Ayo."

"Gue gak ikut." Yona kembali melanjutkan langkahnya. Namun, baru beberapa langkah dia sudah kembali berhenti saat sesuatu muncul dari arah pintu. Sesuatu yang sangat mengerikan hingga dirinya harus terjatuh karena lututnya yang tiba-tiba melemas.

"Kita ada di sarang monster?"



Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang