22 : Sarang Lainnya

108 19 39
                                    

"Itu pengungsian bukan sih?" tanya Theo sembari menyipitkan mata. Di ujung jalan sana terlihat sebuah kotak besar. "Atau ... Bukan?"

"Pengungsian itu." Pria dengan seragam SMA itu berjalan santai tanpa memikirkan soal monster. Sejak tadi, mereka sama sekali tak menemukan monster lain. Makanya, Juna bisa lebih tenang.

"Gue tau gue ganteng, tapi jangan diliatin terus."

Juwi segera berdecak sembari memutar malas matanya. Dia hanya mencoba memeriksa ada perubahan atau tidak dari pria itu. Dia hanya takut Juna berubah seperti apa yang selalu ada di film-film survival. Memang, yang menyerang Juna bukanlah zombie. Namun, kemungkinan akan tetap ada 'kan?

"Akhirnya bisa pulang dengan selamat." Juna tersenyum, sembari membayangkan masakan sang bunda. Bahkan dia malah merasa lidahnya sudah mengecap ayam kecap favoritnya.

Berbeda dari Juna yang bahagia, Juwi justru merasa sebaliknya. Masih belum dapat dipastikan bagaimana kondisi sang kakak. Menghubungi nomornya pun sudah sangat tak memungkinkan karena sinyalnya dimatikan. Apa dia masih punya alasan untuk pulang?

Theo tersenyum sembari mengusap bahu Juwi yang malah melamun alih-alih mengekori Juna. "Ayo, jangan sendirian."

Secerca harapan tentu akan terasa sangat besar dampaknya di saat-saat seperti ini. Apalagi, putus asa nampaknya sudah berulang kali hinggap dalam hati mereka. Menghadapi monster mengerikan yang bahkan sulit dikalahkan tanpa senjata api, tentu membuat mereka sangat frustrasi dan putus asa. Ditambah, kondisi Juna yang sempat memburuk setelah terluka. Apa lagi harapan mereka selain menemukan tempat paling aman?

"Tangan Juna masih dingin," bisik Theo yang ternyata punya maksud saat mengusap bahu gadis itu. "Apa dia beneran gapapa?"

"Diliat dari gimana dia bertingkah lagi, saya rasa dia emang udah gak kenapa-napa," bisik Juwi sembari melirik pria yang berjalan di depan dengan kedua tangan di saku serta bersiul pelan. "Mungkin cuma efek lukanya."

Juwi serta Theo menghentikan langkah dengan wajah cukup terkejut saat Juna tiba-tiba saja berbalik. Pria itu mengerutkan dahi, bingung dengan respon yang dia lihat saat ini. "Kalian berdua ngomongin apa sih? Kok gak ngajak?"

"Ah ... Juwi nanyain toilet." Pria itu menunjuk Juwi dengan ibu jarinya diiringi kekehan canggung. Namun, tak perlu menunggu lama, dia harus menahan sakit karena Juwi menendang kakinya.

"Lo mau ke toilet lagi?"

Juwi tak menjawab. Dia melipat kedua tangannya dan berjalan begitu saja dengan wajah yang kesal. Tentu saja Juna hanya bisa menggaruk kepalanya dan mencoba mencari jawaban atas hal yang baru terjadi di depan matanya. Namun, saat otaknya mulai memberi jawaban, Juna segera menatap pria itu kesal.

"Bang, lo nikung ya?" Pria itu ikut melakukan hal yang Juwi lakukan. "Juwi, bareng dong."

Theo menghela napas sembari mengusap kakinya yang masih terasa panas dan pedih karena tendangan maut Juwi. Padahal dia hanya mengatakan sesuatu yang kebetulan lewat di otaknya.

"Mereka ini emang kadang suka di luar prediksi." Theo melanjutkan langkahnya sembari sesekali menoleh ke belakang untuk memastikan tak ada satu pun monster yang mengikuti. Namun, rasa khawatirnya sia-sia karena sejak tadi memang tak ada satu pun monster di sana.

"Kok sepi?" tanya Juna sembari menatap kotak yang terbuat dari seng itu. Dia mengintip lewat jendela yang nampaknya merupakan ventilasi pengungsian itu. Matanya segera membulat kala mendapati seisi pengungsian sudah tak bernyawa dan bisa dibilang tempat itu sudah menjadi sarang monster.

"Kenapa?"

Juna benar-benar merinding karena jumlah monster di dalam sana cukup banyak. Yap! Sesuai dengan jumlah pengungsi yang ada di sana. Mungkin sekitar 30 orang yang merupakan orang sekitar sana.

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang