Sunyi. Itulah kata paling tepat untuk menggambarkan situasi mereka saat ini. Setelah kejadian mengerikan tadi siang, semuanya nampak sungkan untuk bicara. Apalagi bagi Nathan, Harsa, Yona, Mona, Naya, dan Danti yang belum lama mengenal sosok Fajrin. Rasanya benar-benar tak enak jika mereka mengatakan kalimat penghiburan.
Surya sejak tadi mengacak rambutnya. Dia sempat berharap Fajrin bisa selamat dengan menunggunya meski harus menjaga jarak. Namun, yang dia dapati justru hal sama seperti di pengungsian. Bahkan, dia harus menyaksikan bagaimana sosok monster itu keluar dari tubuh Fajrin. Benar-benar menyakitkan.
Suara perut keroncongan dari seseorang membuat mereka mencari tahu siapa yang merasa lapar di saat tidak tepat seperti sekarang. Tentu ini membuat sang empunya perut mengangkat tangannya ragu. Dia tersenyum canggung sebab membuat suasana sendu itu hancur.
"M-maaf." Mona menurunkan kembali tangannya kala Danti menyenggol lengannya.
"Ah ... Maaf, itu perutnya kadang ndak bisa dikondisikan," ujar Danti diakhiri senyum. Namun, dia segera menunjukkan raut serius agar Mona tak melakukan sesuatu yang mungkin membuatnya dianggap tak bersimpati pada duka yang dialami mereka.
"Ah iya, makanannya masih di mobil ya?" tanya Surya kemudian beranjak dari duduknya. Meski rasanya berat, dia akan menggantikan posisi Fajrin dan berjanji membawa mereka pulang dengan selamat. "Ada yang bisa bantu?"
"Gue aja." Nathan beranjak dari duduknya, mengekori Surya untuk mengambil persediaan makanan mereka. Setidaknya untuk sementara mereka harus beristirahat di sana sampai suasana hati mereka membaik. Jika memaksakan diri untuk pergi dengan kondisi mental mereka yang berantakan karena kepergian Fajrin, bisa saja ada yang berpikir bahwa akan lebih baik mati saat ini dibanding menundanya.
Sembari mengendap-endap, Surya dan Nathan berjalan menuju mobil. Hati Nathan sebenarnya tak tenang. Apalagi setelah melihat kejadian itu langsung di depan mata. Awalnya dia cukup menyesal karena memilih untuk keluar dari penjara. Padahal mereka malah lebih aman berada di sana. Namun, karena tak asa persediaan makanan, dia merasa beruntung saat Fajrin serta Surya menemukan mereka.
Surya menahan napas sembari membuka pintu belakang mobil itu. 3 keranjang berisi persediaan makanan itu sengaja ditaruh di sana agar mereka semua bisa cukup dalam mobil meski harus berdesakan.
"Aman," bisik Nathan kala tak ada respon apa-apa setelah Surya membuka pintu belakang mobil itu. Segera dia mengambil 2 keranjang dan membiarkan Surya untuk membawa satu keranjang.
"Tunggu, gue mau bawa tas punya pak Fajrin. Ada persediaan obat sama peluru di sana." Surya kembali mengendap-endap kemudian membuka pintu bagian depan. Saat tak ada lagi respon dari monster, Surya segera mengambil tas itu dan menggendongnya.
"Udah?"
"Lo jalan duluan," ujar Surya. Senjata yang mereka miliki hanya satu. Jadi mau tak mau Suryalah yang harus berjalan di belakang meski rasa takut kini menghantuinya. Dia takut pergi lebih dulu dan meninggalkan Jihan. Gadis itu cukup keras kepala dan butuh seseorang yang bisa melunakkannya. Siapa lagi kalau bukan Surya?
Surya mengembuskan napas lega kala kakinya berhasil melangkah masuk kembali ke ruko tersebut tanpa gangguan monster satu pun. Dia juga menutup pintu kemudian berjalan menuju lantai satu dengan satu keranjang berisi makanan ringan.
Meski pintunya ditutup, ruko tersebut tak terlalu gelap. Nathan berhasil menyalakan api unggun dengan sebuah kursi kecil serta bantuan kertas-kertas yang ada. Beruntung apinya bisa menyala. Jadi, mereka tak terus berada dalam kegelapan. Meski sebenarnya api unggun malah membuat mereka merasa gerah.
"Kayaknya ini cuma cukup buat malem ini kalo satu orang ambil satu makanan." Surya mulai menghitung jumlah orang yang ada. Ada 12 orang termasuk dirinya di sana. Mungkin dengan berbagi makanannya akan cukup. "Kita makannya berdua berdua. Di sini ada roti dan kayaknya cukup. Itu untuk ngeganjel perut dulu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [End]
Science Fiction[Proses Penerbitan] "Kita emang bakalan pulang, tapi entah pulang ke rumah atau benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya." Harapan agar Indonesia lebih maju dalam segala aspek, justru malah membawa petaka setelah sampel makhluk yang diyakini seb...