38 : Together

120 18 44
                                    

"Jadi gimana sekarang?" tanya Yona yang memecah keheningan mereka. Diam terus juga takkan membuat mereka tiba-tiba dapat ide cemerlang. "Kita batalin misi cari penawarnya. Nyawa kita yang belum terinfeksi jauh lebih penting sekarang."

Tak ada jawaban. Mereka semua memilih diam hingga membuat Yona makin frustrasi berada di sana. Dengan 2 orang yang terinfeksi saja mereka akan cukup kewalahan. Bagaimana jika selanjutnya akan ada lebih banyak orang yang terinfeksi atau bahkan mati?

"Yon, kita susun rencana atau diskusinya nanti setelah Harsa lewatin masa kritisnya ya," ujar Naya dengan suara yang lembut. Mungkin dibanding yang lain, Naya adalah orang paling tenang menghadapi apa pun. Dia bukannya memihak sang adik yang terinfeksi. Namun, menurutnya akan lebih baik jika mereka mengambil keputusan bersama termasuk dengan orang-orang yang terinfeksi.

"Nay, barusan aja kita hampir jadi korban. Lo mihak adek lo?"

"Yon, bukannya gue mihak atau gimana. Tapi mereka juga masuk tim kita. Jadi, pendapat Harsa juga kita butuhin."

Juna beranjak dari duduknya. Dalam hitungan menit akan ada monster yang keluar dari dirinya. Dia tak mau membuat seisi tempat persembunyian itu gaduh hanya karena sesosok monster. Barusan monster juga membuat kegaduhan di sana dan hampir membuat salah satu dari mereka jadi korban andai Juna tak dengan berani meraih kaki monster tersebut agar tak bergerak dan Theo menembaknya.

Juna memerhatikan Tasya. Dia merasa tak ada yang aneh dari gadis itu. Seharusnya jika memang monster itu berasal dari Tasya, minimal Tasya akan terlihat panik dan gelisah. Namun, yang dia lihat malah tidak seperti itu. Dia merasa bukan Tasya orang yang terinfeksi.

"Lama-lama malah stres mikirin siapa yang terinfeksi," gumam Juna sambil menutup pintu. Meski begitu, kini dia mengantongi jam tepat kapan monster itu muncul. Jaraknya agak berdekatan dengannya. Jadi, mereka semua bisa lebih bersiap meski tak tahu siapa orang yang terinfeksi itu.

Juna merogoh saku, menyalakan sebuah rokok kemudian menyesapnya. Sama seperti biasa, yang dia lihat hanya kegelapan. Dia jadi merasa listrik yang tak padam tidak ada hubungannya dengan kerusakan. Dia merasa ada kesengajaan yang dilakukan entah atas dasar apa.

"Bagi."

Suara itu cukup membuat Juna terkejut. Dia kemudian membulatkan mata kala Juwi mengulurkan tangannya.

"Gak denger?"

"Gak boleh ah." Juna segera mematikan rokok miliknya kemudian menyembunyikan sekotak rokok yang dia punya agar Juwi tak mengambilnya. "Lo ngapain di sini? Gue sengaja keluar biar monsternya gak nyakitin siapa-siapa."

"Bagi dulu satu, nanti gue jawab."

Juna menggeleng sebagai penolakan. Bagaimana bisa Juwi meminta hal itu padanya? "Mending gak usah dijawab, tapi masuk ya. Bentar lagi monsternya ada."

"Gue muak denger pertengkaran yang ada. Kayak hampir tiap saat ada aja yang berantem karena alesan yang sama. Gue better kita bertiga aja," jelas Juwi sembari menatap langit. Kali ini tak ada satu pun bintang. Dia kemudian menghela napas karena tak bisa bercerita pada sang ayah. "Lama-lama gue malah cape dengerin mereka adu argumen."

"Wajar sih, karena di saat kayak gini, kita semua pasti lebih mentingin diri sendiri." Juna tersenyum sembari menatap Juwi. "Kalo misalkan kalian mau pergi, boleh kok. Menurut gue itu lebih baik. Gue bahkan takut salah satu monster yang keluar dari tubuh gue ngelukain kalian terutama lo."

"Kita bisa dapet solusinya."

"Tapi belum pasti. Btw, lo gak akan lupa sama gue kan kalo misalkan nih, orang yang terinfeksi gak akan ikut nyelamatin diri?"

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang