"Kalo kita ke sini, komandan tau gak ya?" gumam Jihan dengan suara sepelan mungkin. Mereka bersembunyi di balik meja resepsionis setelah berlari dengan panik. Bahkan, kini mereka juga terpisah.
Entah dari mana asalnya, monster itu tiba-tiba muncul di ruangan yang mereka jadikan sebagai tempat berlindung. Alhasil, mereka berlari ke arah yang berbeda untuk saling menyelamatkan diri. Jihan dan Jimmy yang berakhir berlindung di bawah meja resepsionis kemudian Raisa dan Tasya yang berlari ke arah ruangan lain. Tentu saat ini yang lebih terancam adalah Jihan serta Jimmy.
Jihan menutup mulut Jimmy saat menyadari napas pria itu terdengar cukup keras. Dengan tubuh yang gemetar, mereka berusaha keras menahan degup jantung yang kini semakin kencang. Mereka berharap, monster yang berada kurang lebih 3 meter dari arah tempat persembunyian itu tak mendengar degup jantung mereka.
Mata Jihan membulat kala matanya beradu dengan mata kecil milik monster itu. Bahkan, monster tersebut melompat ke arah mereka, membuat Jihan dan Jimmy segera memejamkan mata, bersiap dengan rasa sakit yang mungkin akan mereka rasakan beberapa detik ke depan.
Dor!
Suara tembakan itu sukses membuat Jihan dan Jimmy merasa jantung mereka berpindah tempat. Mereka sudah berpikir hidup mereka hanya akan sampai ke beberapa detik berikutnya. Ternyata tidak.
"Kalian gapapa 'kan?" Pria dengan balutan seragam TNI itu mengintip dari atas meja. "Raisa sama Tasya mana?"
Jihan menggeleng. Mereka terpisah saat monster kecil itu tiba-tiba muncul meski pintunya tertutup. Entah memang sudah ada sejak mereka ada di sana. Namun, Jihan merasa ada yang aneh. Bagaimana monster itu masuk ke ruangan yang jelas-jelas tertutup? Ruangan itu juga tak terlalu besar dan tak terlalu banyak barang. Harusnya terlihat kalaupun memang ada. Namun, monsternya tiba-tiba muncul, persis seperti saat mereka ada di pengungsian.
"Kembali ke tempat tadi. Surya udah dapet mobilnya, dia masih kejebak karena banyak monster di sana."
"Dia ...." Jihan meraih lengan baju pria itu, menatapnya dengan tatapan khawatir.
Fajrin tersenyum sembari menyentuh bahu Jihan. "Dia baik-baik aja. Mungkin sebentar lagi dia bakalan ke sini."
Bertengkar kemudian berbaikan. Meski siklus pertemanannya dengan Surya selalu seperti itu, Jihan tak bisa menutupi rasa khawatirnya kala mendengar terlalu banyak monster di area parkir. Dia ingin pulang dengan selamat bersama Surya seperti saat mereka pergi bersama untuk ikut dalam demonstrasi itu.
"Mungkin bentar lagi bakalan ada monster lagi. Kembali ke ruangan yang tadi." Fajrin mengisi kembali senapannya. Namun, suara sesuatu terjatuh, membuatnya segera membalikkan tubuh.
Seorang pria nampak masih sangat terkejut hingga kakinya terlihat tak punya lagi tenaga untuk berjalan. Bagaimana tidak? Nyawanya hampir melayang jika Fajrin tak datang tepat waktu.
"Mau saya gendong?" tanya Fajrin dengan nada gurauan. Padahal kemarin pria itu masih sangat takjub dengan adanya monster. "Jihan, kayanya dia harus digendong."
Nathan membentur-benturkan kepala belakangnya pada pintu besi itu sembari memikirkan cara apa yang perlu dia lakukan agar bisa keluar dari sana. Hingga kemudian dia menoleh saat kepalanya tak lagi membentur pintu.
"Yang lain lagi tidur." Naya meletakkan telunjuknya di bibir kemudian tersenyum dan duduk di samping pria itu. Dia sangat tahu Nathan sedang sangat stres sekarang. Bisa dilihat dari caranya membentur-benturkan kepalanya.
Berada dalam organisasi yang sama sejak semester 2, tentu membuat Naya tahu kebiasaan-kebiasaan pria itu. "Lo gak bakal bisa buka pintunya pake cara gitu."
"Maaf, Nay. Lo padahal mau rayain ulang tahun adek lo, tapi malah berakhir di sini."
Naya tersenyum. Memang benar sebelum penangkapan, dia sudah menyiapkan kejutan kecil untuk sang adik yang berulang tahun ke-17. Namun, karena Nathan mengatakan soal fakta baru mengenai penelitian rahasia itu, dia lebih memilih untuk datang dan mengetahuinya. Jadi, bisa dibilang ini kesalahannya karena lebih memilih membayar rasa penasarannya dibanding tetap di rumah.
"Demam Harsa udah lumayan turun. Mungkin bentar lagi dia bakalan baik-baik aja," ujar Naya untuk sedikit menghapus rasa bersalah dari Nathan. Meski rasanya mustahil karena Nathan tetap akan menyalahkan diri atas kondisi mereka saat ini, setidaknya Nathan bisa merasa lega karena Harsa sudah sedikit membaik.
"Ngomong-ngomong soal penelitian rahasia itu ... Kenapa mereka milih ngerahasiain ya? Bahkan mereka berdua juga berakhir di sini," ujar Nathan sembari melirik 2 gadis yang sangat betah dengan jas penelitian mereka. Satu hal yang pasti, Nathan bahkan heran karena 2 gadis itu memilih tutup mulut. "Apa penelitiannya bisa ngebahayain orang-orang?"
"Mungkin ...." Naya mengembuskan napas. "Diliat dari objek juga tempat penelitiannya yang dirahasiain, udah jelas penelitian yang dilakuin pemerintah ini bakalan nimbulin sisi kontra dari banyak pihak."
"Kita harus cepet-cepet keluar dari sini untuk ngungkap penelitian itu. Sia-sia kalo kita semua mati kelaparan di sini." Nathan benar-benar geram dengan penelitian rahasia itu. Padahal menurutnya, penelitian yang dilakukan pemerintah diam-diam itu punya skala yang cukup besar. Dia sempat menemukan dokumen yang bertuliskan 'Antartika' di bank data penelitiannya. Namun, file itu satu-satunya yang tak bisa diretas oleh mereka karena punya kunci ganda.
"Kita perlu benda tajem sementara di sini gak ada benda tajem sama sekali." Naya sudah mencari. Namun, hasilnya tetap sama. Tak ada benda tajam yang bisa mereka gunakan untuk keluar dari sana.
"Mungkin ada cara lain untuk keluar dari sini."
***
Seorang pria meringis kala tulang keringnya ditendang. Dia bahkan sampai melompat-lompat sambil memegangi kakinya. "Juwi ...."
Setelah kejar-kejaran dengan gerombolan monster yang ingin membalaskan dendam, mereka kini berada di sebuah kafe. Benar-benar sebuah kebetulan karena kafe tersebut kosong. Bahkan, Theo memeriksanya hampir 3 kali untuk memastikan kali ini mereka aman. Meski tetap saja rasa takut itu ada karena gerombolan monster yang membanyak itu, berusaha menghancurkan pintu serta dinding kaca itu.
"Gue bisa sendiri." Dengan dingin gadis itu merebut kapas yang sudah dibasahi alkohol oleh Juna. Wajah mereka terlalu dekat dan Juwi sangat tidak suka itu. Apalagi saat napas hangat Jungkook menerpa wajahnya.
Mungkin jika gadis lain yang diperlakukan seperti itu, mereka akan sangat salah tingkah. Apalagi yang melakukannya adalah Juna. Pria itu bahkan dengan lembut meniupi lukanya agar tak merasa perih. Namun, Juwi memilih menendang kaki pria itu agar menghentikan aksinya. Bukan apa-apa, wajah mereka terlalu dekat.
"Ada kompor di dapurnya. Kita harus makan dulu," ujar Theo kemudian meraih tas yang tak pernah Juna tinggalkan. Pria itu melindungi tasnya seperti melindungi nyawanya. Bahkan saat mendadak ada monster di rumah itu, Juna berlari sembari meraih tas berisi persediaan itu.
Juwi mengangguk kemudian memasangkan plester pada lukanya. Rasanya sangat sakit. Dia tak bisa bayangkan bagaimana rasa sakit yang dirasakan orang-orang setelah tertusuk makhluk itu.
Sementara Theo berjalan ke dapur, Juwi menghampiri Juna yang kini masih memegangi kakinya sembari berbaring di lantai. Dia tak menyangka tendangan Juwi akan sedahsyat itu. Bahkan, saat Juwi mendekat, Juna berusaha menjauh karena takut Juwi mulai memukulnya.
"Leher lo luka. Ada cermin di sana, jadi pasang aja sendiri." Juwi memberikan gulungan perban serta plester pada Juna kemudian memilih untuk menyusul Theo ke dapur. Dia yakin setidaknya ada persediaan makanan lain di sana.
"My type," gumam pria itu diakhiri senyum. Namun, senyum itu pudar kala mendengar monster yang menabrakkan diri ke dinding yang terbuat dari kaca itu hingga retak. "Kalian ganggu aja gue mau halu."
*****
Jimmy mleyot gara2 monster😭🤣🤣
13 Sep 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [End]
Science Fiction[Proses Penerbitan] "Kita emang bakalan pulang, tapi entah pulang ke rumah atau benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya." Harapan agar Indonesia lebih maju dalam segala aspek, justru malah membawa petaka setelah sampel makhluk yang diyakini seb...