"Mereka hanya para pengecut yang bersembunyi di balik kursi jabatan mereka." Surya memukul setir mobil itu. Nampak jelas rasa marah dan kesal mewarnai air muka pria itu hingga Jihan harus mengusap lengannya untuk sedikit menenangkannya.
"Kita bisa kok berlindung di sini atau ... Cari tempat lain. Iya gak?" Jihan mencoba menyuntik semangat teman-teman seperjuangannya. Dia tahu semuanya kesal, marah, lelah, juga putus asa. Apalagi, pengungsian adalah satu-satunya harapan mereka bisa melewati masa mengerikan ini. Namun, mau bagaimana lagi? Jihan paham pada ketakutan para pengungsi setelah menemukan kasus kemunculan monster itu secara tiba-tiba dari seseorang yang terluka.
Tak kunjung mendapat respon, Jihan menghela napas. "Oke, gue juga kesel, tapi maksa masuk juga malah bakalan bikin kita ditembak. Kita janji untuk pulang dengan selamat bareng-bareng 'kan?"
"Han, lo tau rasanya harus ngelepasin sesuatu yang ada di tangan? Ah ... Gue lupa, lo selalu dapetin apa pun yang lo mau, gak heran," ujar Raisa diakhiri helaan napas. Dia sudah berusaha keras melawan dan membuktikan mereka takkan membawa monster ke pengungsian. Namun, Jihan meminta mereka untuk kembali alih-alih membuat keributan. Apalagi, beberapa kali peluru ditembakkan ke langit saat mereka semakin berusaha untuk masuk.
"Kita bisa aja masuk tadi," sahut Mira yang kemudian menambah daftar panjang kesalahan Jihan yang dibuat-buat.
"Eh, udah udah, kita butuh kerja sama tim yang baik. Keputusan Jihan bener untuk kembali ke mobil daripada maksa masuk. Suara tembakan itu bakalan ngundang lebih banyak monster," jelas Fajrin dengan harapan tak semakin memperkeruh suasana. Apalagi, mobil itu terasa lebih panas karena rasa marah mereka yang tersulut siang-siang seperti ini. Mungkin yang tenang hanya Jimmy yang asyik merekam serta Jihan yang memilih berpikir positif.
"Pak, apa yang harus kita lakuin sekarang?" tanya Tasya sembari mengangkat tangannya. Dia juga sangat tak suka dengan atmosfer yang terasa di dalam mobil itu. Apalagi saat mereka malah saling serang. Padahal, dia juga berpikir begitu. Jika dia ada dalam pengungsian, akan lebih baik jika tak ada orang keluar masuk karena risikonya yang besar.
"Surya, kalo kamu udah lebih tenang, kita puter balik mobilnya. Untuk senjata, mungkin kita bisa mampir ke kantor polisi atau toko senjata yang biasanya ada di pinggir jalan. Kalian ikutan kelas tambahan itu 'kan?" tanya pria dengan seragam tentaranya. Kondisi ini nampaknya memang sudah diprediksi hingga pemerintah juga menyiapkan diri dengan mengadakan kelas khusus. Mereka berdalih untuk persiapan kalau-kalau perang akan terjadi juga untuk meningkatkan semangat juang dan patriotisme terhadap seluruh kalangan.
Jihan menunjukkan raut kesal kala pria di sampingnya hampir membenturkan kepala pada setir dengan cukup kencang. Beruntung tangannya bisa dengan cepat menahan meski rasanya cukup sakit. "Tata Surya dan seluruh alam semesta, otak lo ditinggalin di rumah sakit kah?"
"Bacot." Surya kembali menyalakan mesin, membuat Jihan berdecih.
"Sama-sama," ujar Jihan yang tak lagi ditanggapi oleh Surya. Pria itu kini memilih fokus mengemudi berharap mendapatkan tempat berlindung paling aman setidaknya sampai suasana mengerikan ini berakhir. Dia yakin pasti ada cara untuk melenyapkan semua monster mengerikan itu.
"Daripada diem-dieman nih, gue puter lagu aja gimana?" tawar Jimmy sembari mengeluarkan ponsel dari sakunya. Namun, melihat respon dingin dari mereka, Jimmy memutuskan untuk mengurungkan niatnya. Padahal dia berniat untuk menghibur mereka. Apa yang salah?
"Tulus," cicit gadis dengan balutan baju SMA serta rambut yang dikepang 2 oleh Raisa sebelum mereka berangkat.
"Oke." Jimmy tersenyum hingga matanya menghilang. Dia mulai mencari lagu tersebut pada pemutar mp3nya. Namun, yang ada malah lagu-lagu rock hingga membuat pria itu tersenyum kikuk. "Gak ada, maaf."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [End]
Science Fiction[Proses Penerbitan] "Kita emang bakalan pulang, tapi entah pulang ke rumah atau benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya." Harapan agar Indonesia lebih maju dalam segala aspek, justru malah membawa petaka setelah sampel makhluk yang diyakini seb...