Perluasan lockdown itu semakin diberlakukan sebagai lanjutan dari semakin bertambahnya populasi makhluk aneh itu. Memiliki kemampuan berkembang biak yang cukup cepat, tentu membuat makhluk mirip laba-laba itu bisa lebih mudah bertambah banyak. Layaknya amoeba yang bisa membelah diri, makhluk itu pun semakin banyak dan tak terkendali setelah melukai banyak jiwa.
Seperti yang diprediksi Jihan, dalam waktu sekitar 4 jam, cacing parasit yang berasal dari luka tusukan makhluk itu berubah menjadi makhluk tersebut. Meski ukurannya tak sebesar induknya, namun kemampuannya tetap sama. Bahkan pada saat masih menjadi cacing parasit, mereka mampu mematahkan tulang seseorang.
Berjalan tanpa tujuan. Kiranya begitulah yang dilakukan 3 mahasiswa serta 1 anggota TNI Angkatan Darat. Entah sudah berapa jam mereka melangkah. Namun, hingga detik ini mereka belum memutuskan akan berlindung di mana.
Sejauh ini, mereka tak menemukan satu pun monster dengan bentuk hampir mirip dengan kecoa itu. Makanya, belum ada pikiran untuk menyelamatkan diri hingga saat ini.
Fajrin menghampiri salah satu mayat yang tergeletak di tengah jalan dekat halte. Dari kelihatannya, tak ada tanda-tanda cacing parasit di titik lukanya. "Jadi ... Mereka cuma punya kesempatan 1 kali untuk hidup?"
"Mungkin ...." sahut Raisa sembari ikut memerhatikan jenazah salah seorang polisi. Ternyata memang benar. Dari jenazah yang dia perhatikan pun, tak ada tanda-tanda cacing parasit. "Jadi yang terpenting, jangan ada yang ditusuk lagi atau monsternya bakalan makin banyak."
"Pas demo banyak yang kena 'kan?" tanya Jihan yang kemudian menutup mulutnya tak percaya. Rombongan demonstrasi kemarin berasal dari berbagai universitas yang ada di pulau Jawa. Bisa dipastikan jumlahnya memang tak sedikit. Apalagi, yang sudah pasti selamat baru mereka bertiga. Sisanya?
"Dan ... Mereka makin bertambah karena itu," ujar Raisa.
"Mungkin ... Hampir semua yang ada di barisan paling depan kena. Ah ... Jadi ini maksud omongan yang kemaren gue denger?" Surya sempat tak menyadari ucapan mereka ternyata mengarah pada jumlah monsternya. Dia pikir tentara itu membicarakan soal jumlah pengungsi yang memang bertambah banyak karena aksi demonstrasi maut itu. "Artinya dia tau sesuatu 'kan?"
"Dia siapa?"
"Pemimpin di pengungsian itu. Dia tau sesuatu soal monster ini," lanjut Surya. Namun, kalaupun mereka kembali dan bertanya, pemimpin itu takkan mengatakan apa-apa. Apalagi, sejak kemarin Jihan terus menentangnya.
Mereka terdiam, memikirkan siapa yang mungkin tahu soal semua ini. Tak mungkin makhluk aneh itu tiba-tiba muncul 'kan? Bahkan Raisa saja yang menyukai serangga tak pernah melihat serangga jenis ini.
"Yang jelas ... Pemerintah emang tau soal ini. Diliat dari cara mereka tiba-tiba nerapin lockdown lagi setelah covid gak ada, itu udah ngejelasin kalo pemerintah emang tau sesuatu," jelas Raisa. Memang masuk akal apa yang dia katakan. Terlebih, buktinya memang sangat nyata. Satu hal yang membuat mereka heran adalah dari cara pemerintah berdalih dibanding jujur soal yang kondisi yang sebenarnya. Mengapa ditutupi?
"T-to ... tolong."
Suara seseorang ambruk membuat diskusi mereka harus terhenti. Mereka terkejut saat mendapati seorang gadis dengan pakaian seragam SMA tergeletak di atas aspal.
Meski dengan rasa takut, Jihan membalikkan tubuh gadis itu perlahan. Dia mencoba memeriksa apakah ada luka atau tidak. Namun, setelah melihatnya, gadis itu baik-baik saja. Hanya pingsan.
Sekarang apa yang perlu mereka lakukan? Menghadapi monster itu bukan perkara mudah. Membawa 2 orang yang sedang tak bisa berlari, tentu akan lebih menyulitkan mereka. Namun, mereka juga tak mungkin meninggalkan Jihan serta gadis dengan tanda pengenal 'Tasya Sekarwangi' di dada kanan seragamnya.
"Tunggu, gue kok ngerasa kenal sama badge-nya." Jihan menyingkirkan rambut yang sebagian menutupi wajah gadis itu. Dia menutup mulut tak percaya. Gadis yang masih memejamkan mata itu, teman sang adik. Bahkan bisa dibilang sangat dekat karena Tasya selalu main ke rumahnya.
Jihan merogoh saku cardigan gadis itu, mendapati sebuah inhaler. Namun, isinya sudah habis. "Dia punya asma."
"Wah ...."
Juwi memutar malas matanya. Apa melihat monster itu mengerubungi kotak tempat mereka berlindung adalah hal menakjubkan? Dia malah takut kacanya akan pecah nanti. "Jadi ... Gimana kita bakalan pergi dari sini?"
"Nah sinyal!" Pria itu memang sejak tadi mencari keberadaan sinyal dengan mengangkat tinggi-tinggi gawai hasil curian itu. Tentu Juwi juga segera memeriksa gawai yang diberikan oleh Juna sebelumnya.
Tanpa menunggu lama, Juwi segera mencoba menghubungi sang kakak. Dia harap sang kakak memang baik-baik saja. Andai dia tak menjatuhkan ponselnya, mungkin dia sudah tahu bagaimana kondisi sang kakak. Hal yang sama juga dilakukan oleh Juna. Pria itu mencoba menghubungi sang bunda.
Melihat kondisi saat ini, bisa saja mereka tak bisa pulang dalam waktu dekat. Apalagi, mereka perlu kendaraan. Juna tak mau masuk lagi ke supermarket itu hanya untuk kunci mobil. Yang ada, nyawanya yang akan melayang nanti.
"Halo? Halo? Bun?" Juna mengerutkan dahi kemudian menatap gawai itu. Sinyalnya sudah kembali menghilang. Padahal, dirinya baru mengatakan sedikit hal pada sang bunda. Jika seperti ini, bundanya malah akan makin khawatir. Sedangkan Juwi, kakaknya tak kunjung mengangkat telepon.
Juna menatap satu persatu monster yang nampak berusaha untuk memecahkan dinding kaca itu. "Kayaknya kita bakalan tetep di sini. Liat aja mereka ngumpul."
Monster itu sensitif pada suara serta matanya juga tajam. Meski tak terlihat di mana letak matanya, monster itu terus berusaha merusak dinding kaca tersebut. Artinya, mereka memang bisa melihat dengan jelas.
Juna jadi ingat soal kemarin. Padahal sangat jelas di lantai 2 tak ada tanda-tanda monster itu. Namun, mendadak ada monster dengan ukuran kecil mengincar mereka. Sepertinya monster itu memang melihat mereka saat melewati eskalator.
"Ah ya, kita belum makan apa-apa dari semalem. Gue bawa roti tawar sama meises." Juna melepas tas punggung itu. Terbiasa hidup rapi, membuat Juna bisa menyusun isi tas itu dengan sangat sempurna. Bahkan dia bisa memasukkan banyak hal ke sana.
Juwi terkekeh melihat roti tawar itu. Terlihat menyedihkan karena Juna menekannya. Namun, tak apa, yang penting perut mereka bisa terisi.
Suara tembakan membuat keduanya terkejut. Bahkan, tembakannya bukan hanya sekali, membuat Juna takut pelurunya malah mengenai mereka. Beruntung peluru itu berhasil mengenai sasarannya.
Seseorang membuka pintu kaca itu. Pria dengan kemeja hitam yang membalut kaus putih yang sudah tak lagi seputih sebelumnya, menatap mereka.
"Kalian gapapa 'kan? Ayo, suara tembakan tadi mungkin bikin yang lainnya keluar," ujarnya dengan suara bariton yang mampu melelehkan hati siapa pun.
"Tapi ... Anda siapa?" tanya Juna. Dia tak langsung setuju saat pria itu mengajak mereka. Dia termakan film survival dan berpikir pria itu mungkin menangkapnya untuk dijadikan bahan eksperimen.
"Ah ... Saya detektif swasta. Theo." Pria itu menunjukkan kartu namanya. "Saya di sini karena investigasi. Setelah ngamatin soal makhluk aneh itu, mereka bener-bener sensitif. Jadi, kalian pasti aman bareng saya karena saya udah ngamatin mereka."
"Kita gak akan dijadiin bahan percobaan 'kan?"
*****
Ada karakter baru nih xixi. Ilustrasi monsternya belum selesai, aku gabakat gambar😭😭🤣
6 Sep 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulang [End]
Science Fiction[Proses Penerbitan] "Kita emang bakalan pulang, tapi entah pulang ke rumah atau benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya." Harapan agar Indonesia lebih maju dalam segala aspek, justru malah membawa petaka setelah sampel makhluk yang diyakini seb...