46 : Gara-Gara Juna

78 13 0
                                    

Juna membulatkan mata kala tak sengaja mendengar pembicaraan orang-orang itu. Bagaimana tidak? Alih-alih menyelamatkan mereka yang merupakan penyintas, orang-orang yang tergabung dalam tim khusus itu malah berniat meletakkan bom di sana. Padahal mereka sudah sangat jelas melihat orang-orang yang selamat tadi. Setelah menembak, sekarang berniat membunuh mereka? 

Juwi segera menahan pria itu dan menggeleng. Menurutnya, akan lebih baik jika mereka tetap bersembunyi. Risiko terbesarnya adalah mereka yang sudah terinfeksi dan terlihat masih normal, akan jadi bahan percobaan kalaupun diselamatkan. Tujuan mereka bukan untuk berakhir mengenaskan. Memang, jika mereka diam, tubuh mereka akan hancur berkeping-keping. Namun, Juwi yakin mereka tidak benar-benar akan melakukannya. Itu hanya sebuah pancingan agar mereka mau keluar dari tempat persembunyian.

Setelah dirasa orang-orang itu meninggalkan area persembunyian mereka, Juna menjadi orang pertama yang keluar dari tempat persembunyian kemudian memeriksa apakah ada bom di sekitar sana. Namun, lagi-lagi Juwi menahannya. Kali ini dia tak meminta Juna untuk kembali bersembunyi. Melainkan, memintanya untuk membungkuk. Puing-puing di sekitar mereka cukup membantu untuk menyembunyikan tubuh mereka.

"Gue yakin mereka sebenernya masih ada di sini," bisik Juwi. Dia mengedarkan pandangannya. Memang, dia punya kelemahan dalam hal mengenali. Namun, pakaian orang-orang itu berbeda dari mereka. Jadi, dia bisa dengan mudah mengenalinya. "Lo cari yang lain. Gue yang jaga."

"Ogah." Juna menarik bagian belakang baju gadis itu hingga Juwi harus sedikit berontak agar tak perlu berjalan mundur.

"Bang," panggil Juna saat mendapati Nathan di bawah reruntuhan. Namun, nampaknya suara Juna yang lebih pantas disebut bisikan itu sama sekali tak terdengar. Dia kemudian mengedarkan pandangan dan tersenyum saat mendapati sebuah kerikil. Selanjutnya, dia memejamkan sebelah matanya dan melemparkan kerikil itu hingga tepat mengenai kepala Nathan. Padahal Juna sungguh tak berniat mengenai kepala pria itu.

Dor! Dor!

Suara baku tembak segera membuat Juna ikut bersiap dengan senapannya. Dia segera membantu Juwi yang kini tengah mencoba melumpuhkan musuh. Namun, tak disangka, jumlah yang awalnya mereka pikir hanya 2 orang, ternyata salah. Dari arah belakang mereka pun mereka terserang.

"Anjir abis cok," ujar Juna sembari memukul-mukul senapannya yang tak lagi mengeluarkan peluru. Dia kemudian meminta Juwi untuk merendahkan tubuh dan bersembunyi di balik sebuah tiang agar tak terluka.

Dor! Dor! Dor!

Raisa yang kebetulan bersembunyi tak jauh dari tempat orang-orang tim khusus itu berdiri, berhasil menembak masing-masing dengan satu pelurunya.Dia kemudian keluar dari tempat persembunyian dan menembak sisanya. Sekarang dia yakin laboratoriumnya memang ada di sekitar sana. Mengingat bagaimana ada orang tambahan, sudah dapat dipastikan memang area itu sengaja dijaga.

"Kalian gapapa 'kan?" tanya Raisa setelah dia berhasil menumbangkan orang-orang itu. Dia juga memeriksa kondisi yang lain kemudian meringis saat mendapati luka Yona hanya dibalut dengan sapu tangan oleh Nathan. Padahal, tangannya juga sama-sama terluka.

"Kita obatin dulu yang terluka terus pergi dari sini. Saya yakin bakalan ada yang ke sini lagi." Theo melepas tasnya, mengeluarkan alkohol, kapas, serta perban. Dibantu Danti, Theo menarik tangan Raisa agar gadis itu juga mendapat pengobatan dari lukanya.

"Mereka gak beneran nyimpen bom 'kan?" tanya Mona yang benar-benar tak bisa menahan air matanya. Sungguh, setiap harinya selalu saja ada hal mengerikan hingga dirinya tak sanggup lagi untuk menghadapinya. Namun, dia juga tak mau jika harus mati begitu saja. 

"Aman. Gue udah periksa bareng Naya tadi. Gak ada bom sama sekali. Tapi kita harus cepet pergi dari sini buat jaga-jaga," jawab Jihan.

"Dan ... kayaknya di arah jam 9, ada tanda-tanda laboratoriumnya. Gue liat papan nama rusak di sana," sambung Naya sembari menunjukkan arah di mana dia menemukan tanda-tanda keberadaan laboratorium itu. Tebakan Theo benar soal laboratorium yang memang berada tak jauh dari sana. Sekarang mereka hanya perlu masuk dan keluar dari sana hidup-hidup. Tak ada yang tahu monster apa yang ada di dalam sana.

***

Mereka melagkah sembari tetap waspada. Entahlah, kali ini ketakutan mereka benar-benar bertambah. Bukan hanya pada monster nan lincah itu, namun juga pada manusia yang malah berusaha untuk membunuh mereka tanpa memeriksa lebih dulu. Namun, nampaknya mereka baru saja melumpuhkan satu tim. Jadi, untuk sementara mereka bisa sedikit bersantai.

"Saya sama Jimmy bakalan ngerampok dulu. Kalian bisa masuk duluan," ujar Theo sembari memerhatikan mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Dia yakin itu milik tim yang tadi mereka lawan. Mereka membutuhkan peluru tambahan karena peluru sebagian dari merea sudah mulai menipis. Mungkin hanya milik Mona, Danti, serta Jimmy yang masih tersisa banyak karena mereka tak terlalu sering menggunakannya.

"Bang, masa kita misah lagi sih? Entar kalo kayak sebelumnya gimana?" protes Juna yang tentu saja membuat Theo menghela napas. Risikonya memang akan sama. Namun, akan lebih besar jika mereka pergi merampok bersama di saat tahu tim khusus akan langsung menyerang mereka seperti tadi. Dengan jumlah orang yang banyak, mereka juga akan kesulitan bersembunyi nantinya. Sangat tidak lucu jika mereka masuk ke mobil secara bersamaan seperti saat mereka harus berbagi mobil hingga berimpitan.

"Tapi Juna ada benernya. Dibanding hal yang enggak-enggak kejadian nih, mendingan kita gak berpencar," ujar Naya yang juga disetujui yang lain.

"Yaudah deh gini. 2 orang yang ke sana, sisanya tunggu di sini. Gak kepisah 'kan? Waktunya bakalan kebuang-buang nih kalo kita debat dulu. Paham ...." Belum sempat Theo menuntaskan kalimatnya, Raisa sudah melangkah lebih dulu. Padahal dia sudah mengatakan bahwa yang akan pergi adalah dirinya dan Jimmy.

"Raisa ...."

"Kita gak punya banyak waktu." Dengan santai, Raisa membuka pintu belakang mobil itu. Bahkan saat ada sosok monster berukuran kecil pun, dia dengan santai menembaknya lalu naik ke mobil tersebut untuk mengambil persediaan yang mereka butuhkan. Termasuk peluru serta alat lain yang mungkin mereka butuhkan untuk masuk ke laboratorium.

"Keren banget sih," puji Theo diakhiri senyum. Dia lantas mengisi pelurunya lebih dulu sebelum membawa yang lain. Sepertinya di dalam laboratorium mereka akan lebih membutuhkannya. Sebagai titik awal penyebaran, monster yang lebih mematikan bisa saja ada di dalam saja. Jadi, mereka harus melakukan persiapan yang lebih.

"Apa yang bakalan kamu lakuin setelah bisa pulang?"

Raisa hanya mengangkat kedua bahunya. Dia benar-benar tak punya rencana apa-apa. Hidupnya sudah hilang bersamaan dengan sang ayah yang tiada serta sang kakak yang masih belum ditemukan. Jika dia berhasil keluar dari situasi buruk ini, dia mungkin malah akan seperti mayat hidup.

Theo tersenyum sebab dari cara gadis itu menjawabnya dengan waktu yang lama, dia yakin Raisa memang tak ada rencana apa pun. "Kamu masih mikirin soal infeksi kamu? Saya yakin penawarnya juga bisa bantu kamu. Mungkin mereka juga neliti kasus yang mirip-mirip sama kamu. Gimana kalo setelah kita sama-sama selamat, kamu gabung sama saya? Kerjaan yang bener-bener nyaman buat orang-orang yang gak mau diketahuin sama banyak orang."

"Maksudnya jadi detektif?"

Theo mengangguk. "Kemampuan nembak kamu bagus. Itu bisa bantu banget kalo nanganin kasus berat."

Dari kejauhan, Juna berdecak. Bagaimana bisa jarak 5 meter terasa seperti 5 kilometer? Theo malah asyik berbincang dengan Raisa alih-alih mempercepat langkah. 

"Bang, keburu isya!" teriak Juna yang tentu saja membuat yang lain segera menatapnya.

"Monsternya bakalan keluar, bego, ah elah," kesal Juwi yang segera membuat mereka semua bersiap dengan senapan masing-masing. Benar saja teriakan pria itu berhasil membuat monster-monster itu keluar dari persembunyian mereka.

"Juna sialan," umpat Surya. Padahal dia sedang ingin mengisi energinya yang rasanya sudah sangat terkuras. Namun, mau tak mau dirinya harus menggunakan energinya yang tersisa agar tetap hidup.

"Gue pengen pulang aja," ujar Mona sembari menangis. Bahkan, tembakannya terus meleset hingga Jimmy harus terus membantunya.

"Fokus, Mon."

"Lain kali tutup aja mulutnya Juna pake lakban," ujar Juwi. Dia kemudian mengumpat karena pelurunya juga ikut habis sekarang.

"Ya maaf, refleks soalnya."

Jika biasanya monster yang menyerang adalah dengan ukuran yang sedang, kali ini agak PR karena jumlahnya yang banyak. Sepertinya para monster sekitar sana bersembunyi di tempat yang sama.

Pulang [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang