prolog

193K 5.2K 47
                                    

Hampir jam 12 malam, Tama tiba-tiba menghubungiku. Dia memintaku menemaninya minum. Kebetulan aku baru saja pulang dari kantor dan merasa ingin melepas penat sejenak, makanya aku menyanggupi ajakannya. Ah, satu lagi. Besok weekend, jadi tidak masalah meski aku teler sampai pagi.

Sesampainya di sana, Tama sudah duduk di salah satu kursi dan sibuk menenggak minumannya. Mungkin sudah beberapa gelas karena matanya terlihat tak fokus. Tama melirik ketika aku duduk di hadapannya.

Tama tersenyum. “Malam, Pak Galih.”

Aku cuman bisa geleng-geleng kemudian menuangkan minuman ke dalam gelasku. “Bukannya lo mau ketemu Chaca? Kenapa malah ke sini?”

“Kita berantem.”

Dua kata itu berhasil menghentikan gelas di depan bibirku. Aku tidak jadi meneguknya. Untuk mengorek cerita dari Tama, aku harus tetap sadar. “Berantem lagi?” aku meletakkan gelasku lalu melipat tangan di depan dada.

“Iya, kan? Dia itu suka banget cari perkara.”

Aku mengernyit. “Masalah apa memangnya?”

“Chaca marah karena gue nggak ngabarin dia selama seminggu. Dia nggak bisa ngerti, padahal kita emang sibuk kan semingguan ini. Dia tuh kayak anak kecil, apa-apa perlu dikabarin. Dia yang nggak ngertiin gue, dia yang marah.” Tama meneguk minumannya lagi.

Tanganku yang terlipat, mengepal kuat. Bertahun-tahun aku mendengar curhatan darinya, tidak pernah sekalipun dia tidak menyalahkan Chaca. Tapi yang lebih mengherankan, kenapa Chaca bertahan dengan laki-laki ini?

“Beda banget sama Alina,” kata Tama pelan dengan senyum tipis di wajahnya.

“Alina?” Aku mengulang nama itu.

Senyum Tama semakin lebar. Sebagai sesama pria, aku tahu maksud senyum itu. “Dia anak baru di kantor gue.”

Tama jatuh cinta pada perempuan lain dan sengaja mencari masalah agar bisa berpisah dari Chaca. Dasar brengsek! Aku mengembuskan napas, ingin rasanya aku menghajar hingga babak belur. Bisa-bisanya dia berpikir melepas Chaca demi perempuan lain.

Hati-hati aku mengeluarkan ponsel dan meletakkan di atas meja untuk merekam percakapan kami.

“Kalian deket?” tanyaku tenang, namun genggamanku pada gelas terlalu kuat. “Maksud gue, lo sama Alina?”

Tama mengangguk dengan senyum menjijikkannya. “Kemungkinan besar Alina juga suka sama gue. Malahan dia ngajak gue nonton Minggu depan.”

“Berdua doang?”

Tama tertawa. “Iyalah! Kalau gue ajak orang lain, namanya bukan kencan, bro.”

“Kenapa lo bisa suka sama dia?”

“Alina nggak suka marah-marah. Nggak kayak Chaca. Dikit-dikit marah, dikit-dikit ngambek. Alina tuh adem banget, bawaannya pengen gue peluk.” Tama tertawa lagi.

Aku mengalihkan pandangan. Berusaha meredakan emosi dan keinginan merobek mulut sampahnya. Namun yang membuatku lebih marah adalah Tama yang tersenyum karena wanita lain di sini, sementara Chaca mungkin tengah menangis karenanya.

“Sebenarnya, gue mau putus sama Chaca. Tapi dia nggak mau mutusin gue walaupun marah besar sama gue. Kalau gue yang minta putus, kesannya jadi brengsek banget.”

Apa dia tidak sadar, menduakan Chaca jauh lebih brengsek?

“Makanya, gue masih sembunyiin kedekatan gue sama Alina.” Tama memijit pelipisnya. “Padahal gue pengen banget kasih tau ke orang-orang, biar nggak ada lagi cowok yang deketin Alina.”

Aku meraih ponselku dan menghentikan rekamannya. “Tam, lo tenang aja. Besok, Chaca bakal minta putus dari lo.”

Tama tersenyum lagi. “Lo mau bantuin gue?”

Aku mengangguk. Dengan senang hati aku membantunya. Karena dengan begitu, hubungan mereka akan berakhir dan aku bisa menggantikan posisi laki-laki brengsek ini. Chaca akan jauh lebih bahagia bersamaku.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang