26. luka

47K 2.9K 38
                                    

"Kok bisa sih, Kak?"

Galih mengangkat bahu santai. Berbanding terbalik denganku yang panik. "Nggak sengaja, Cha."

Aku mendesah frustrasi. Pagi-pagi ke apartemennya, aku malah menemukan luka di sekitar sikunya kembali terbuka.

Lukanya memang sudah mengering, tapi sebenarnya itu hanya di permukaan. Dalamnya masih basah.

Jadi ketika diregangkan tiba-tiba, bisa muncul retakan pada luka yang sudah mengering. Mungkin itulah yang terjadi.

Aku hanya bisa menerka-nerka sendiri karena otakku sempat buntu. Segala macam pertanyaan tertahan di ujung lidah, namun tidak bisa benar-benar keluar.

Daripada bertanya, yang kupikirkan terlebih dulu adalah mengobati lukanya. Aku menarik Galih yang masih bertelanjang dada untuk duduk di kursi.

"Lain kali hati-hati dong," kataku sambil mengobati lukanya.

"Iya, sayang."

Aku tidak menggubrisnya. Aku fokus pada lukanya, sementara Galih juga hanya diam.

Setelah selesai, Galih berdiri lalu menggapai kemeja yang sebelumnya dia sampirkan di sandaran sofa.

"Sini, aku bantuin." Aku menengadahkan tangan. Galih tersenyum lalu menyerahkan kemejanya padaku.

Saat mengancingkan kemejanya, Galih tiba-tiba mencium bibirku. Cuman kecupan, tapi aku segera mengangkat pandangan. Menatapnya kesal. "Jangan cium-cium, aku lagi marah sama kamu."

Galih menangkup pipiku, membuat mata kami tetap saling menatap. "Kenapa kamu jadi marah sama aku?" tanyanya dengan senyum geli.

Aku memukul dadanya untuk menyalurkan sedikit kekesalanku. "Kamu sih! Ini luka kamu hampir sembuh loh, malah kebuka lagi, kan."

"Nggak sakit kok, sayang." Galih menghiburku.

"Nggak sakit, tapi bikin aktivitas kamu terhambat." Aku menghela napas setelah sampai dikancing terakhir. "Udah sana berangkat." Aku mendorongnya hingga Galih melepas wajahku.

"Makasih, ya." Galih mengecup bibirku untuk kedua kalinya sebelum merapikan penampilannya sekali lagi, menyambar tasnya kemudian berangkat.

Aku masih bergeming di posisiku. Kepikiran Galih yang kembali kesusahan dengan segala aktivitasnya. Sepertinya, aku harus memberinya perhatian ekstra mulai sekarang.

Cukup lama berdiam, aku akhirnya kembali ke apartemenku.

Hari ini aku meliburkan diri, tapi punya janji dengan seseorang. Tante Raya. Semalam beliau menghubungiku, mengajakku berkunjung lagi ke rumahnya.

Tentu aku tidak akan menolak. Sesi masak-memasak bersama Tante Raya tidak boleh aku lewatkan.

**

"Itu apa, Tante?" tanyaku penasaran.

Masak bersama telah selesai, aku dan Tante Raya pun sudah makan siang. Duduk santai sambil menikmati camilan juga sudah kami lakukan sejak setengah jam lalu.

Sampai Tante Raya sibuk mengisi kotak bekal, aku memerhatikannya beberapa saat barulah aku bertanya.

"Makan siang buat Galih. Tante kadang buatin soalnya dia suka lupa makan kalau lagi sibuk," jawab Tante Raya dengan senyum yang belum hilang dari wajahnya.

Wadah kedua Tante Raya isi dengan berbagai macam buah yang telah dipotong kecil-kecil. Lalu selesai.

"Mina." Mbak Mina tiba dengan satu kali panggilan. "Bawain ke Pak Yanto."

Sebelum Mbak Mina membawa totebag plastik itu, aku menyela spontan. "Tante, aku aja."

Mungkin karena kejadian tadi pagi, aku ingin mengecek kondisinya lagi. Sekalian, aku penasaran dengan kantor tempatnya bekerja.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang