23. ciuman sebelum makan

77.9K 2.9K 15
                                    


Aku selamat.

Dering telepon dari ponsel Galih menyelamatkanku. Mungkin, seandainya panggilan barusan bukan dari mamanya, Galih tetap akan melanjutkan aksinya.

Oh, astaga! Aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasibku.

Walaupun apa yang ingin Galih bukan termasuk sex, tapi tetap saja itu terlalu intim. Dan aku takut, Galih gagal menahan diri. Ditambah kemungkinan aku yang akhirnya pasrah-pasrah saja di bawah kendalinya.

Aku memasang kembali celanaku kemudian melompat turun dari kitchen bar sementara Galih menerima telepon. Lanjut mengaitkan bra-ku dan merapikan rambutku yang sedikit berantakan.

Dalam hitungan menit saja, Galih berhasil memorak-porandakan penampilanku. Jika lebih lama dari ini, mungkin aku sudah telanjang bulat di hadapannya.

Melihat Galih berjalan menuju kamarnya masih dengan ponsel yang menempel di telinganya, aku melarikan pandanganku ke sembarang arah. Sampai mataku berhenti pada sepiring pepes ikan di atas meja.

Pas sekali! Aku belum makan malam.

Aku duduk di sana dan mencoba sesuap. Sekali coba saja, aku bisa tahu kalau ini masakan Tante Raya. Makanan hasil dari kedua tangannya tidak perlu diragukan lagi.

"Kamu laper?"

Aku mendongak. Menatap Galih yang berjalan menghampiriku lalu mengangguk.

Galih melewatiku untuk mengisi piring dengan nasi lalu mengambil posisi di sebelahku. "Kebetulan aku juga belum makan."

"Sepiring berdua?" tanyaku.

"Keberatan?" Galih menarik kursiku agar lebih dekat dengannya.

Aku menggeleng. "Biar hemat piring, ya?"

Galih menoleh dengan mata memicing, namun tangannya bergerak natural menyerahkan satu sendok padaku. "Kamu nggak tau istilah romantis?"

"Romantis? Itu apa?" Sengaja aku menggodanya.

"Mau aku kasih contoh?" tawarnya sambil mengisi gelas dengan air.

Aku mengangguk.

"Contohnya ini, sepiring berdua. Segelas berdua. Duduk sebelahan..." Galih menggantung kalimatnya.

Aku menunggu, tapi Galih tak kunjung melanjutkan. Jadi aku bertanya, "Apa lagi?"

Galih tersenyum miring lalu mendaratkan kecupan kilat di bibirku. "Hmm.. ciuman sebelum makan."

Mataku yang tadi terbelalak tergantikan oleh tawa terbahak. "Baru kali ini aku tau ada ciuman sebelum makan."

"Ada, tapi cuma aku sama kamu yang tau," katanya percaya diri.

Kalau mengingat bagaimana Galih sewaktu kuliah hingga beberapa bulan lalu, terkadang aku tidak percaya laki-laki yang baru saja menciumku ini adalah laki-laki yang sama.

Dia punya sisi romantis yang tidak pernah kulihat.

Perhatian yang besar.

Dan... kontrol diri yang lemah.

Galih yang dulu kukenal adalah laki-laki tenang. Tidak terpengaruh oleh sekitar. Bicara seperlunya dan wajahnya yang tidak banyak menunjukkan emosi.

Karena kepribadiannya itulah, aku merasa untuk tidak perlu mengusahakan diri mengenalnya lebih dari teman Tama.

Siapa sangka, ternyata ada banyak sisi yang pada akhirnya hanya Galih perlihatkan padaku.

"Jadi, untuk selanjutnya, gini juga?" tanyaku lalu menyendokkan nasi dan lauk ke mulutku.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang