35. rumah kita🔥

53.9K 1.3K 6
                                    

Aku masih berbaring di tempat tidur. Dengan selimut yang menyelimuti tubuh telanjangku. Dan ponsel yang sejak tadi hanya bisa kupandangi.

“Kenapa, sayang?”

Aku menoleh ke sumber suara. Galih yang baru saja keluar dari toilet, menghampiriku dan ikut berbaring di sebelahku.

Aku menghela napas.

“Hmm?”

Aku menunjukkan room chat di mana aku menambah libur seminggu lagi. Lalu tidak lama, balasan mereka masuk. Menanyakan hal yang sama.

Galih mengambil alih ponselku sementara aku berpindah berbaring di dadanya. “Aku bingung mau kasih alasan apa ke mereka.”

“Jujur aja, sayang,” sarannya.

Aku menggeleng di dadanya.

“Kamu kasihan sama dia?”

“Nggak tau, tapi aku pengennya masalahku sama Rahma cukup kita yang tau.”

“Sayang,” Galih mengusap pucuk kepalaku, “kamu itu terlalu baik. Orang yang jahatin kamu aja masih sibuk kamu pikirin perasaannya.”

“Jadi aku harus balas dendam?”

“Biar aku yang wakilin kamu.” Galih terdengar serius.

Segera aku mengangkat kepalaku dan menatapnya. Aku menggeleng. “Jangan.”

Melihat Galih yang masih menampakkan raut seriusnya, tanpa senyum sama sekali, akhirnya aku tidak punya pilihan lain. “Ya udah, aku bakal jelasin ke mereka, tapi besok.”

Dia langsung tersenyum dan mencubit gemas pipiku. “Nah gitu dong.”

Galih meletakkan ponselku lalu menarikku untuk kembali berbaring di dadanya. Beberapa saat kami hanya diam. Aku menikmati detak jantungnya yang teratur, sementara Galih terus mengelus kepalaku.

Aku hampir saja tertidur kalau bukan karena mendadak aku teringat sesuatu. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya.

“Oh iya, aku tiba-tiba ingat. Waktu itu kan kamu mau ajak aku ke suatu tempat. Emm, emangnya kamu mau bawa aku ke mana?” tanyaku.

“Mau ke sana sekarang?” tawar Galih.

Aku mengernyit. “Sekarang? Emang bisa?”

“Bisa, sayang.” Galih tersenyum meyakinkan.

“Kok aku malah makin penasaran, ya.” aku menyipitkan mata curiga.

Kalau Galih bisa langsung mengajakku, berarti itu bukan tempat yang butuh reservasi terlebih dulu. Bukan pula tempat wisata karena ini masih terlalu pagi.

Aku tidak punya gambaran sama sekali.

“Ayo siap-siap.”

“Tunggu!” Aku mencekal lengannya hingga Galih kembali berbalik ke arahku. “Kamu nggak kerja?”

“Kerja dong. Habis ke sana, aku langsung terus ke kantor.”

Dan begitulah hingga akhirnya aku berada di mobil bersama Galih. Membawaku ke tempat yang tidak kuketahui. Ya sekali pun rahasia, tapi aku tidak takut Galih bermaksud menculik dan menyekapku di ruangan gelap dan pengap.

Itu mustahil.

Hampir satu jam perjalanan, mobil memelan saat memasuki salah satu kompleks perumahan. Galih menurunkan kaca jendelanya, menyapa security yang berdiri di sebelah posnya, dan mereka saling berbalas senyum.

Sepertinya mereka sudah cukup akrab.

Security itu sedikit menunduk, mempersilakan mobil kembali melaju. Aku tidak berhenti mengedarkan pandangan pada rumah-rumah yang kami lewati.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang