“Aah!”
“Chaca.”
Mataku terbuka perlahan saat Galih memanggil namaku. Sambil mempertahankan ritme napas, aku membalas tatapannya. Galih lalu mendekat, menyatukan dahi kami.
“Lihat aku,” bisiknya tepat di depan bibirku.
“Lihhat apanya? Kamu deket banget,” ucapku susah payah. “Aaah.”
Galih tersenyum kemudian mengeluarkan tangannya dari celanaku. Sekaligus menjauhkan wajahnya dariku. “Kamu pengennya lihat apa?”
Aku mengernyit.
Galih menunduk. Secara tidak sadar aku mengikuti arah pandangannya dan berlabuh di sekitar selangkangannya. Yang sedang menggembung.
Buru-buru aku mengangkat pandangan dan memelototinya.
Galih tertawa ringan lalu kembali mendekatiku. Sebelah tangannya mendarat di pipiku. “Kok malu? Udah sering kamu lihat juga.”
Aku memukul dadanya. Berusaha mendorongnya menjauh, namun badannya yang sekeras batu tidak bergeser sesenti pun. “Udah ah! Sana kerja.”
Galih mengintip jam tangannya. “Masih ada waktu.”
Belum sempat mencegahnya, Galih sudah lebih dulu membungkam bibirku. Melumatnya beberapa detik lalu lidahnya meluncur mencari lidahku. Aku dengan senang hati menerima ajakannya bermain.
Galih semakin merapat, sementara aku semakin terpojok. Dalam posisi yang sangat sempit ini, kedua tangan Galih menyelinap di punggungku yang setengah telanjang.
Menjalar turun dengan sangat pelan, mendorong turun celanaku, dan berhenti pada bokongku. Galih meremasnya kuat membuatku mendesah dalam ciumannya. Diremas lalu setelah itu diusapnya sensual.
Satu tangannya kemudian berpindah ke depan, bermain-main dengan klitorisku. Bersamaan dengan bibirnya yang turun menuju leherku. Memberinya kecupan-kecupan basah.
Aku memeluk lehernya ketika Galih mengusap liang basahku naik turun. “Euuum. Ah, aah, ah…”
Galih sangat tahu bagaimana caranya membuatku terpuaskan. Galih tahu harus bermain pelan di awal. Lalu pelan-pelan tempo dinaikkan. Dan itulah yang sedang dia lakukan.
Menaikkan tempo dengan mengusap dan menekannya cepat. Aku menenggelamkan wajahku di ceruk lehernya untuk meredam desahan yang sulit kutahan.
“Kak, aaah. Ah!”
Kocokan jari Galih semakin cepat. Aku bisa merasakan orgasmeku akan segera datang. Seakan ada aliran listrik yang menjalar di seluruh tubuhku dan seketika tubuhku mengejang.
“Aaaaaaaahh!” Pelukanku pada lehernya mengerat. Takut aku jatuh karena pahaku masih bergetar.
“Udah basah. Waktunya masuk.”
Walau napasku masih berat, aku menjauh dari ceruk lehernya dan menatapnya. Galih tersenyum puas melihatku kacau akan permainan jarinya.
Baru saja ingin membalas perkataannya, aku malah mendesis merasakan kewanitaanku berkedut. Mungkin sisa yang tadi.
“Mau lagi?” tanya Galih.
Aku segera menggeleng lalu mengedarkan pandangan. “Di sini belum ada perabotan sama sekali, Kak.”
“Ranjang maksud kamu?”
Aku mengangguk. “Sofa atau semacamnya juga nggak ada.”
Galih mendekatkan bibirnya ke telingaku dan berbisik, “Kita nggak butuh perabotan, sayang. Sambil berdiri kan bisa.”
Pipiku menghangat. Ya memang bisa sih, tapi sepertinya aku akan sulit berdiri nantinya.
“Nggak ada yang perlu kamu pikirin, cukup ikutin aku aja,” kata Galih sebelum mencium pipiku.
Tanpa menunggu lebih lama, Galih buru-buru melepas ikat pinggang dan celananya. Galih membiarkan celananya menggumpal di lututnya. Setelah itu, Galih membalik tubuhku.
Aku berpegang ke dinding ketika Galih memegang pinggulku. Dan di detik berikutnya, aku melenguh merasakan kejantanannya telah berada di dalamku dan menghujamku perlahan.
Kedua tangannya pun tak dia biarkan menganggur. Setelah mendorong bra-ku naik, Galih memelintir putingku. Menciptakan gelenyar geli yang menjalar ke bawah perutku.
Aku tidak lagi peduli suara lenguhan dan desahanku yang cukup keras bisa saja terdengar oleh tetangga, karena aku tidak lagi bisa menahannya.
Salahkan Galih yang tidak tahu tempat. Dan aku yang tidak bisa menolaknya.
“Ah, ah, ah …! Eungh…” suaraku saling beradu dengan suara yang tercipta dari tabrakan kulit kami.
Galih pun sama, hanya saja tidak sesering aku. Galih melenguh lirih begitu dia mencabut kejantanannya dan membuang cairannya di sekitar bokongku.
Dengan napas berat, Galih menempelkan bibirnya di telingaku. “Mau lagi?” tanyanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomansaTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...