38. ingin sembuh

25.5K 1.4K 8
                                    

Usaha pertama gagal, aku beralih ke opsi kedua. Menggali informasi dari Donny.

Di hari kedua, aku menghubungi Sherina. Melalui dia, aku ingin meminta tolong membuatkan janji temu denganku dan Donny.

Sayangnya, Sherina bilang bahwa Donny tidak lagi menetap di Jakarta. Donny pulang ke rumah orang tuanya di Surabaya. Akhirnya, aku hanya bisa meminta kontak Donny yang bisa kuhubungi.

“Halo, Don? Ini gue Chaca,” sapaku begitu Donny mengangkat panggilanku.

“Iya, Sherina udah bilang tadi. Ada masalah apa sampe lo hubungin gue duluan?”

“Ada yang mau gue tanyain ke lo, Don,” kataku tanpa basa-basi.

“Nanya apa?”

“Soal kejadian di klub waktu itu,” jawabku hati-hati.

Aku sadar, kejadian waktu itu pasti masih menyisakan trauma untuk Donny. Jadi, aku tidak akan mendesak kalaupun dia tidak ingin mengingatnya lagi.

“Gue sih nggak masalah untuk jawab pertanyaan-pertanyaan dari lo, Cha. Tapi kenapa lo penasaran soal itu?”

Sebelumnya, aku sudah menduga kecurigaan yang bisa saja muncul. Jadi aku menyiapkan alasan masuk akal yang setidaknya bisa Donny percaya.

“Sepupu gue ngalamin hal yang sama kayak lo. Gue takut kejadian itu disengaja, makanya gue pengen tau dari lo. Siapa tau itu bisa ngebantu sepupu gue,” bohongku.

“Lo juga ngerasa kejadian itu disengaja, kan, Cha?” Donny terdengar menghela napas berat. “Sayangnya nggak ada yang percaya sama gue.”

Tanpa kuminta kedua kalinya, Donny langsung bercerita tentang kejadian di malam itu. “Lo harus tau, Cha, walaupun waktu itu gue setengah sadar, tapi gue bukan tipe orang yang mabuk dan nggak ingat apa-apa. Gue jelas rasa ada orang yang sengaja nyenggol gue sampe nubruk orang lain. Benar-benar disengaja, karena tangannya kerasa banget.”

“Dan lo tau lah selanjutnya, gue yang mabok digebukin sama orang mabok.”

Aku memejamkan mata setelah mendengar kronologis dari Donny. Tidak ada bukti jika kejadian itu ada kaitannya dengan Galih.

“Lo nggak sempet lihat orang yang dorong lo, Don?” tanyaku.

“Nggak, Cha.”

**

Tidak menemukan apa yang kucari, bukan berarti aku menyerah.

Aku sudah bertekad untuk menemani Galih sembuh. Jadi apa pun akan kulakukan. Sekali pun itu harus mengujinya sendiri pada Galih. Tapi aku tidak akan melibatkan orang lain.

Hanya saja aku bingung, bagaimana caranya aku menimbulkan masalah. Sementara Galih tidak pernah sekalipun mencari gara-gara.

Beruntung, sehari sebelum pulang, Galih tidak menghubungiku. Sehari dia tanpa kabar dan baru menghubungiku keesokan harinya.

Dalam hubunganku yang sebenarnya, aku tidak akan mempermasalahkan hal semacam ini. Karena aku pun mengerti, Galih pasti punya kesibukan sampai-sampai tidak bisa berkabar denganku.

Tapi untuk kali ini, aku akan menggunakan alasan kesibukannya sebagai awal dari pertengkaran.

Galih datang ke apartemenku saat aku sedang mencuci piring. “Chaca?” aku tidak menengok, berusaha mengabaikannya. Aku mengembuskan napas dan memulai sandiwaraku.

“Sayang?” panggil Galih lagi. Dia sudah berdiri di sampingku.

“Kamu marah?” tanyanya dan masih tetap kuabaikan.

“Tadi pagi kamu nggak angkat teleponku,” kata Galih.

Aku tetap diam dengan kedua tangan sibuk membilas piring.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang