34. kantor 🔞

83.8K 1.7K 9
                                    


Seperti biasa, Galih menyerangku dengan ciuman menggebu-gebunya. Sayangnya, kali ini, aku harus menghentikannya, sejenak.

Aku menarik kepalaku menjauh darinya. “Pintunya.”

Galih membuka mata. “Nggak ada orang selain kita, Chaca,” bisiknya.

“Bentar—mmpph .. Kak.”

Galih kembali mencoba mempertemukan bibir kami, namun aku membekap mulutnya. Meski Galih—yang paling tahu tempat ini—mengatakan tidak ada orang lain, aku tetap tidak tenang.

Aku tidak mau kalau sampai kami kepergok dan menjadi buah bibir teman sekantor Galih.

Galih menatapku frustrasi, tapi masih mencoba sabar. “Apa lagi, sayang?”

Tanpa menjawab, aku mendorongnya lagi dan melompat dari meja. Tanpa merapikan pakaianku yang berantakan, aku berjalan cepat menghampiri pintu ruangannya.

“Kabur dari aku?”

Aku menengok dan melihat Galih tersenyum miring sambil bertolak pinggang. Membuat tonjolan di selangkangannya semakin kentara.

“Pintunya, sayang,” kataku lalu memutar kunci yang bertengger di sana.

Galih tidak melepas pandangannya dariku saat aku kembali padanya. Dengan tidak sabaran, Galih memegang sisi pinggangku dan mengangkatku ke mejanya.

Sekarang, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan.

Galih melebarkan kakiku kemudian berdiri di antaranya, membuat intiku seketika merasakan tonjolan kerasnya.

Bibir kami yang sempat berpisah, kini kembali bersatu. Kali ini, tidak ada lagi gangguan. Walau bibirnya sibuk memagut, Galih tetap lihai meremas dadaku yang masih terbungkus kaus.

Bajuku lalu dia lucuti. Galih membawa bibirnya ke leherku lalu kedua tangannya bergerak ke punggungku, mencari pengait dari benda yang menutupi dadaku.

Namun mendadak, gerakan Galih berhenti. Galih kembali mengaitkan braku lalu menarik tubuhnya menjauh.

“Kenapa?” tanyaku melihat wajah Galih yang jauh lebih frustrasi dibanding tadi.

“Aku nggak punya kondom.” Galih mengancing kemejanya dengan tergesa.

Aku segera menahan tangannya, mencegahnya. “Nggak usah.”

Galih mengernyit samar. “Nggak usah pake kondom?”

“Iya.”

Galih menelan ludah, menciumku singkat, “Sayang,” lalu menangkup wajahku menggunakan dua tangan besarnya. “aku nggak masalah kalau kamu minta aku nggak usah pake kondom. Justru itu yang selalu aku mau. Kalaupun nantinya ada calon bayiku di sini,” Galih menyentuh perut telanjangku. “malah aku seneng. Aku bakal nikahin kamu secepatnya.”

Aku diam.

Galih menghela napas. “Tapi kamu kan belum siap.”

Tiba-tiba saja aku jadi gugup karena ingin menyampaikan sesuatu padanya. Aku membasahi bibirku ketika merasakan pipiku menghangat. “Kamu keluarin di luar, Kak.”

Mata Galih melebar. Dan.. benda di bawah sana, kurasakan semakin mengeras. “Kamu yakin?” tanyanya sambil mengusap bibir bawahku sensual.

Aku mengalihkan pandangan kemudian mengangguk samar.

Tidak ada sahutan. Galih hanya sibuk memainkan bibirku menggunakan ibu jarinya. Makanya aku terpaksa mendongak untuk mencari tahu kenapa dia hanya diam.

Galih menatap mataku dan bibirku bergantian. “Aku tanya sekali lagi, sayang. Kamu yakin?”

Aku memutar bola mata. Aku butuh keberanian besar untuk mengatakannya dan Galih malah memastikannya berulang. “Aku bisa aja berubah pikiran kal—”

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang