31. marah

36.8K 2.5K 34
                                    


"Nanti, gue mau pulang cepet, nggak apa-apa, kan?" kataku saat Rahma masuk ke ruang belakang setelah selesai dengan pekerjaannya.

Rahma meneguk air botol mineral yang diambilnya dari kulkas kemudian berbalik ke arahku. "Ya terserah Bu Bos. Saya nggak mungkin larang dong," sahutnya bercanda.

Aku terkekeh. "Mau kasih tau aja sih. Siapa tau nanti lo cariin gue."

"Mau ke mana emangnya?" tanya Rahma lalu duduk di sebelahku.

"Ada janji sama Galih."

"Jalan?"

Aku menggeleng. "Nggak tau, dia bilangnya mau ajak gue ke suatu tempat gitu."

Senyum jahil Rahma muncul. "Jangan-jangan mau ngajak lo lihat-lihat gedung."

Aku tahu apa yang dimaksud Rahma, tapi aku memilih untuk berpura-pura bodoh. Aku sedang tidak ingin membahasnya. "Gedung mall?"

Rahma meneguk airnya lagi sebelum berkata, "Gue tau lo paham maksud gue."

Aku cuma terkekeh.

"Terus masalah Alina gimana?" tanyanya.

"Kemarin neror lagi, sekali nelepon gue, tapi nggak gue gubris." Percuma juga aku menerima panggilannya. Karena ujung-ujungnya juga orang di seberang sana tidak akan berbicara atau sekalian memutuskan panggilannya.

"Cha, gue ada saran." Raut Rahma berubah serius diikuti posisi duduknya yang menyerong ke arahku. "Tapi sebenarnya gue nggak terlalu nyaranin, cuman gue rasa ini cukup efektif."

"Apa?"

"Gimana kalau lo ketemu Alina lewat perantara Tama?" Aku ingin menyela, tapi Rahma buru-buru melanjutkan. "Maksud gue gini, mereka berdua kan pernah deket. Ya bahkan lebih dari itu. Siapa tau dengan begitu, Alina mau diajak ke tempat di mana lo bisa ketemu dia."

Bukan tidak pernah mencoba, suatu waktu aku pernah mendatangi kantor di mana Alina bekerja. Sayangnya, kantornya cukup ketat.

Orang asing tidak berkepentingan sepertiku tidak diperbolehkan menemui karyawan di sana. Kalaupun memang penting, aku diminta untuk menghubunginya dan bertemu di luar.

Dan saran yang barusan Rahma katakan tidak sepenuhnya buruk, sekalipun harus melibatkan Tama.

Lagi pula, segala tragedi yang aku alami saat ini bermula dari dia. Setidaknya dia harus ikut bertanggung jawab, walau sedikit.

Aku melirik jam dilayar ponselku. Jam 1. Masih ada waktu sebelum Galih menjemputku. "Semakin cepat, semakin baik. Kayaknya gue harus pergi sekarang, Ma," putusku setelah berpikir matang-matang.

Rahma menoleh kaget. "Sekarang banget?"

"Iya, gue nggak mau masalah ini berlarut-larut." Aku memasukkan ponselku ke dalam tas.

"Ini masih siang, lo izinnya pulang cepetnya sore, Cha."

Aku mengibaskan rambut panjangku sambil tersenyum jemawa. "Gue kan bosnya."

Kami berdua tertawa sebelum aku keluar.

Dalam perjalanan menuju kantor Tama, aku mengirimkan pesan padanya kalau ada hal penting yang ingin aku bicarakan dengannya.

Aku bukannya masih menyimpan kontak Tama, aku sudah menghapusnya. Tapi deret angka nomornya masih tersimpan di kepalaku.

Balasan Tama masuk tidak lama kemudian. Dia tidak keberatan dan akan menungguku.

Seketika itu juga, wajah Galih langsung terbayang. Jika tahu aku menemui Tama, dia pasti marah besar.

Sebenarnya aku punya alasan kenapa sampai sekarang belum juga menceritakan masalah ini pada Galih.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang