30. makan malam

38.3K 2.3K 15
                                    


Ujung bibirku terangkat tinggi melihat Galih berdiri di samping mobilnya. Segala kekalutan tentang teror tadi mendadak menghilang begitu memandangi wajahnya. Aku bergegas keluar dari salon dan menghampirinya.

"Hai, sayang." Kedua tangan Galih yang sejak tadi bersembunyi di balik punggungnya, dia bawa ke depan bersama sebuket bunga tulip berwarna merah.

Aku menatap buket dan kedua mata Galih bergantian. "Buat aku?"

Galih tersenyum sembari mengelus rambutku. "Buat siapa lagi?"

"Cantik banget." Aku meraih bunga itu dan menghirupnya. "Makasih, Kak."

"Syukurlah kamu suka."

Pelukanku pada bunga mengerat diikuti senyumku yang melebar.

"Ehem."

Deheman dari suara yang tak asing itu membuatku memutar tubuh ke belakang dan mendapati Rahma yang sepertinya sempat menyaksikan adegan dua orang yang tengah dimabuk asmara. "Eh, Rahma."

Aku melirik Galih sebentar kemudian kembali mengarahkan pandangan ke Rahma. "Mau ikut nggak?" tawarku karena kebetulan memang tinggal aku dan Rahma yang tersisa.

"Nggak usah. Gue dah pesen ojol." Tidak berapa lama, sebuah motor berhenti di depan mobil Galih yang terparkir. Lengkap dengan jaket hijaunya. "Tuh, udah sampe."

Aku mengangguk.

"Duluan, ya," pamit Rahma lalu duduk di belakang pengemudi.

Aku melambaikan tangan mengantar kepergiannya. "Hati-hati."

"Dah!"

Setelah Rahma cukup jauh, aku menoleh ke arah Galih ketika sebelah tangannya merangkul pinggangku. "Ayo masuk," ajaknya.

Begitu pantatku mendarat, aku meletakkan bunga pemberian Galih di kursi belakang lalu menarik sabuk pengaman.

Namun sebelum berhasil melilitkannya di tubuhku, sebuah tangan lebih dulu menarik tanganku hingga sabuk pengaman itu kembali ke tempatnya.

Belum sempat protes atau menoleh untuk menanyakan kenapa Galih mencegahku, bibirnya telah menyambar bibirku.

Walau sempat terkejut dengan serangan tiba-tibanya, aku dengan cepat mengimbangi. Aku berpegang pada lengannya ketika Galih menarik tengkukku untuk memperdalam ciuman.

Galih memiringkan kepalanya lalu mengajak lidahku bertukar saliva. Entah hanya perasaanku atau memang ciuman Galih lumayan brutal.

Seakan-akan kami sudah lama tidak bertemu. Padahal pagi tadi dia masih sempat menyerangku.

Aku membuka mata saat bibir Galih menjauh. Dengan napas terengah, aku menatapnya yang masih berada tepat di depanku.

Galih mengusap bibir bawahku yang basah. Kupikir, Galih berniat menyudahi, tapi tangannya malah turun dan meremas dadaku yang masih terbungkus blouse.

Lenguhan lolos dari mulutku yang setengah terbuka. "Aah.."

Aku masih ingin meloloskan satu lenguhan lagi, tapi bibir Galih lebih dulu membungkamku. Lagi-lagi dia menciumku.

Seirama dengan bibirnya yang bergerak mengulum dan mencecapku, tangannya tak berhenti meremas dadaku yang mulai terangsang.

"Kak, udah." Aku terpaksa mendorong Galih menjauh ketika tangannya beralih menuju pahaku, karena aku tahu apa yang dia inginkan. "Nanti ada yang lihat," bisikku serak.

Selain itu, tempat kami ini terlalu rawan. Bisa-bisa kami digerebek pengendara atau pejalan kaki yang sedang lewat.

Galih melirik tangannya yang berada di dalam rokku lalu mendesah panjang. "Setiap ada di deket kamu, aku nggak bisa kontrol diri."

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang