"Cha, lo nggak dijemput?" tanya Rahma ketika taksi online pesanku tiba.
Aku menggeleng dan menjawab Rahma sembari menunggu driver-nya membantuku memasukkan koper ke bagasi. "Gue sengaja nggak kasih tau dia."
"Ow, surprise?" Rahma tersenyum geli.
"Yap!"
"Gue juga pengen punya pacar!" seru Laras dan langsung disambut tepukan penenang dari Eka, Andini, dan Amel.
Lagi-lagi aku terkekeh menyaksikan tingkah mereka.
Belum lagi saat kami masih berada di Bali. Setiap Galih menghubungiku sebelum tidur, Laras, Amel, atau Andini tidak akan lupa menyuarakan rasa iri mereka.
Melihat bagaimana Galih selalu ingin tahu kabarku dan aku yang terlihat lebih bahagia, bikin mereka kebelet punya pacar.
"Semoga sukses." Rahma memberi semangat sebelum aku masuk ke mobil.
Aku mengangguk sambil melambaikan tangan pada mereka. "Gue duluan!"
Semalam, untuk memuluskan rencana kejutanku, aku berbohong pada Galih. Liburan yang sebelumnya 3 hari, mendadak berubah jadi 4 hari karena mereka masih betah.
Galih jelas protes dan memintaku tidak lagi menambah masa liburan. Di telepon, aku mati-matian menahan diri agar tidak tertawa.
Mengingat percakapan semalam, aku jadi senyum-senyum sendiri. Dan tidak sabar untuk segera sampai.
Aku penasaran bagaimana wajah Galih begitu melihatku tiba-tiba muncul di depannya.
Yang kutakutkan cuman satu. Karena ini weekend, siapa tahu Galih berkunjung ke rumah mamanya. Walaupun semalam dia bilang mau bersantai saja di apartemen, bisa saja rencananya berubah.
Sesampainya di apartemen, aku mendorong koperku dengan hati-hati. Tepat di depan unitku, jantungku memompa dua kali lebih cepat saat aku memasukkan kode. Takut Galih tiba-tiba keluar dari unitnya.
Aku baru bernapas lega sesaat setelah pintu tertutup. Aku meletakkan koperku begitu saja dan berniat mengejutkan Galih.
Tapi lagi-lagi, aku berhenti. Aku mengangkat satu tanganku dan mengendus kaus di bagian lenganku. Ada sedikit bau keringat. Kayaknya aku harus mandi. Padahal aku sudah tidak sabar bertemu Galih.
Aku mendesah pasrah kemudian berbalik untuk segera masuk ke kamar.
Tidak sampai setengah jam, aku kembali dalam keadaan wangi dan segar. Dengan pakaian rumahan, kaus dan celana pendek sepaha. Aku buru-buru keluar dan mengetuk pintu unitnya.
Senyumku merekah tatkala pintu teranyun terbuka. Menampilkan sosok Galih yang hanya mengenakan celana training dan kaus hitamnya.
"Surprise!" Aku merentangkan kedua tanganku, bermaksud menyambutnya kalau-kalau dia ingin segera menghambur ke dalam pelukanku.
Tapi Galih bergeming di tempatnya. Cuman matanya yang berkedip berulang kali, mungkin memastikan perempuan yang sekarang berada di hadapannya benar aku.
Senyumku perlahan memudar diikuti kedua tanganku yang akhirnya kembali ke posisi semula. Galih masih diam, membuatku kikuk sendiri. Apa aku punya salah?
"Kok diem? Kamu nggak suka ya aku pulang?" tanyaku dengan senyum getir.
Tiba-tiba Galih menangkap tanganku. Gerakannya terlalu cepat sampai aku tidak sadar telah ditarik ke dalam. Belum berhasil mencerna apa yang sedang terjadi, Galih sudah lebih dulu meraup wajahku kemudian membungkam bibirku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomansaTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...