32. terungkap

40.4K 2.7K 98
                                    


Satu jam belum berlalu, masih ada sekitar setengah jam lagi sebelum aku kembali ke apartemen Galih. Namun saat aku berniat ke kamar untuk merebahkan diri, pintu apartemenku tiba-tiba terbuka.

Aku membeku di tempat ketika Galih menghampiriku dengan langkah tergesa lalu menarikku ke dalam pelukannya.

Sejenak, aku mematung. Apa yang terjadi? Kenapa malah Galih yang menghampiriku?

"Aku nggak bisa nunggu sejam." Galih berbisik di telingaku.

Barulah setelah mendengar pengakuan Galih, aku membalas pelukannya. Memeluknya sama erat dan mengusap punggungnya.

"Maafin aku, ya, Kak," ucapku.

"Aku percaya sama kamu, sayang, tapi aku nggak suka aja kamu ketemu sama Tama," ungkap Galih, kini dia bahkan membenamkan wajahnya diceruk leherku.

"Jadi, kamu mau denger aku sekarang?" tanyaku.

Galih mengurai pelukan, mengangguk lalu menarikku menuju sofa. Galih lebih dulu duduk kemudian membawaku duduk di pangkuannya.

Dengan posisi duduk menyerong di atasnya, aku mengalungkan tanganku di lehernya dan mulai menceritakan semuanya.

Dimulai dari pertemuan awalku dengan Alina, pesan pertama yang kuterima, hingga sampai di pertemuanku dan Tama—termasuk tujuanku menemuinya.

Galih menunjukkan wajah seriusnya. "Mulai sekarang kamu nggak perlu bantuan Tama."

Aku mengernyit.

"Aku bisa bantu kamu, apa pun itu. Pacar kamu itu aku, bukan Tama."

"Tapi—"

"Tapi apa?" sela Galih.

Aku mengulum bibirku. Kalau sekarang aku melawan, yang ada amarahnya bisa kembali muncul. Akhirnya aku mengangguk.

"Good girl," Galih mengusap pipiku, "tapi untuk saat ini, jangan kasih tau siapa-siapa dulu."

"Maksudnya?"

"Bantuan aku. Pokoknya cuman aku sama kamu yang tau."

Aku masih belum mengerti, namun aku tetap mengangguk. "O..ke."

Galih mengulas senyum. Akhirnya dia tersenyum. Sejak memergokiku di kafe, perjalanan pulang, dan tadi di apartemennya, aku seperti kesusahan bernapas karena tidak menemukan raut ramahnya seperti biasa.

Terbiasa dengan cinta yang diberikan membuatku takut dan kebingungan menghadapi Galih yang tengah marah.

Untungnya, Galih tidak sampai mendiamiku lebih dari sejam.

"Jangan hubungin Tama lagi, ya?" Galih mengingatkan.

"Kalau penting banget?" tanyaku jahil.

Galih memutar bola mata malas. "Sepenting apa?"

"Pennnnnnting banget."

"Biar aku yang wakilin kamu."

"Siap, sayang," balasku diakhiri kekehan geli.

Galih menatapku kaget. Mungkin karena aku jarang menggunakan kata sayang sebagai panggilan, membuatnya sejenak terdiam.

Namun hanya beberapa detik, selanjutnya Galih mempertemukan bibirnya dan bibirku. Dan seperti biasa, ciuman menggebu-gebunya membuatku kewalahan.

**

"Masalah lo udah selesai?"

Perkataan Galih langsung terngiang di telingaku. Meski sampai sekarang aku tidak tahu apa alasan Galih memintaku merahasiakan bantuannya, tapi aku tetap memilih menurutinya.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang