Setahun telah berlalu dan banyak yang berubah dari Galih. Sampai-sampai terkadang aku merasa jadi perempuan paling beruntung di dunia.
Selama setahun belakangan, aku menepati janjiku untuk menemani Galih menghilangkan trauma dan ketakutannya.
Dan selama itu pula, hubungan kami semakin baik. Dalam artian, kami menjalani hubungan seperti pada umumnya. Bertengkar, baikan, saling cemburu, namun sekarang tanpa ada kekerasan atau menarik perhatian dengan melukai diri.
Galih bukan lagi Galih yang dulu.
Dalam konsultasi yang dijalaninya pula, aku akhirnya tahu jika pelaku yang membuat Donny terluka adalah orang suruhan Galih.
Lalu Rahma yang tiba-tiba menghilang setelah aku menemuinya pun itu ulah Galih. Jika dipikirkan, Galih memang menakutkan. Namun disisi lain, aku mencoba memahami Galih.
Galih hanya ingin melindungiku. Hanya saja caranya salah.
Untuk menebus kesalahannya, Galih menawarkan pekerjaan di perusahaan papanya pada Donny.
Berhenti menyusahkan Tama dalam berbagai urusan. Sementara pada Rahma, Galih meminta maaf karena telah mengancamnya dan berjanji tidak akan mengganggunya lagi.
Dan yang terpenting, Galih tak lagi menyakiti dirinya sendiri.
“Nonton apa?” tanyaku.
Aku baru saja selesai mandi, masih mengenakan bathrobe dengan rambut setengah kering. Turun ke lantai 1 di mana Galih sedang bersantai dengan TV menyala.
Galih segera menoleh lalu mengulas senyum. “Hit Man.”
“Bagus?”
“Lumayan.” Galih melebarkan pahanya, menciptakan ruang di antara selangkangannya lalu menepuknya sambil menatapku.
Aku balas tersenyum lalu duduk di sana. Galih langsung memelukku begitu aku duduk.
Galih menyikap rambutku ke sisi kiri hingga leher bagian kananku terekspos. “Rambutnya kenapa nggak dikeringin?”
“Hair dryer kamu rusak, aku lupa bawa punyaku.”
“Nanti aku beliin.”
Terkadang di waktu-waktu tertentu, aku dan Galih memang menginap di rumahnya. Ya rumahnya telah selesai.
Dindingnya telah dicat sesuai keinginanku, perabotannya pun telah lengkap. Dan semuanya, aku yang pilih.
Bukan karena aku tidak melibatkan Galih, tapi setiap kutanya pendapatnya atau desain seperti apa yang disukainya, Galih tidak pernah menjawab.
Jawabannya hanya satu. Apa pun yang kamu suka, aku pun suka.
Aku cuman lelah sendiri jika bertanya padanya. Akhirnya aku yang memilih sesuai maunya.
“Aku bawa punyaku aja, lagian aku punya dua kok di apartemen,” tolakku.
“Nggak apa-apa sayang, buat ditaro di sini,” katanya sambil mengecup leherku.
“Aku aja yang beli kalo gitu,” putusku.
“Tapi pake uangku,” katanya.
“Aku juga punya uang.”
“Oke.”
Biasanya, Galih bukanlah orang yang gampang menyerah. Apalagi untuk urusan semacam ini. Galih memang paling tidak suka jika aku menggunakan uangku sendiri.
Tapi kali ini, perhatiannya teralihkan. Makanya dia tidak melawan. Leherku sibuk dia kecup. Tayangan film di depan sana tidak lagi Galih pedulikan.
Ditambah kedua tangannya yang telah sibuk meremas dadaku. “Kamu belum pake daleman?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
عاطفيةTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...