25. masih curiga

47.9K 2.8K 36
                                    

Sampai sekarang, kepalaku masih dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Yang tentu saja menyangkut Galih dan Dony.

Bagaimana keadaan laki-laki itu sekarang? Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana kronologis sehingga dia bisa berakhir di rumah sakit? Apa tidak ada saksi yang melihat kejadian malam itu?

Namun, ada satu pertanyaan yang paling menggangguku.

Apa pelakunya… Galih?

Sebenarnya, aku tidak ingin curiga pada Galih. Aku ingin percaya dia tidak mungkin melakukan hal semacam itu. Tapi melihat bagaimana tatapan bengisnya pada Dony, aku ragu.

“Mbak.”

Bahkan Galih tidak berpikir dua kali menginjak tangan Dony hingga dia meringis minta ampun. Bukan tidak mungkin Galih bisa melakukan hal yang lebih dari itu.

Namun setiap memikirkan kemungkinan buruk, kilas balik di mana Galih memperlakukanku dengan sangat baik, segera hadir dan mengubur pikiran burukku tentangnya.

Aku terus bimbang.

“Mbak?”

“Iya?” Aku mengangkat pandangan. Mataku dan mata pelanggan yang sedang duduk di depanku bertemu di pantulan cermin. Dia mengernyit membalasku.

Aku kembali menunduk, mendapati kedua tanganku yang hanya diam memegang rambutnya dan gunting. “Maaf.” Aku meringis meminta pengertian.

“Cha.” Rahma menyentuh pundakku. “Biar gue. Lo masuk aja, istirahat.”

Aku menghela napas lalu meletakkan gunting di rak dorong. “Sori, Ma.”

Rahma mengangguk. “Udah sana.”

Sesuai perintahnya, aku memilih istirahat sekalian menenangkan pikiran. Rahma benar juga. Kalau aku teruskan bekerja, salah-salah aku malah melukai orang lain.

Aku menjatuhkan tubuhku di sofa, menyandarkan punggungku, lalu memejamkan mata.

Tidak lama, aku merasa kantukku datang perlahan. Sepertinya, selain karena Galih, konsentrasiku makin terpecah karena semalam kurang tidur.

Semoga saja keadaanku membaik saat terbangun nanti.

**

“Jangan berisik.”

“Iya, Kak. Lupa.”

Suara samar itu berhasil menarikku dari dunia mimpi. Aku membuka mata dan meregangkan badan.

Laras dan Amel melempar senyum saat mata kami bertemu. Sementara Rahma menatapku khawatir.

“Kalian udah makan siang?” tanyaku basa-basi.

“Udah, Kak. Baru aja selesai,” jawab Amel.

Laras dan Amel yang duduk sebelahan tiba-tiba saling menyikut disertai kode mata yang cuman mereka berdua yang paham.

“Kak, kita keluar duluan,” pamit Laras lalu menarik Amel ikut bersamanya.

“Cha, lo ada masalah?” tanya Rahma tanpa perlu basa-basi.

Aku mengusap wajahku dan kembali menyandarkan punggung. Kedua tangan kulipat depan dada sembari menerawang jauh ke depan.

“Gue bingung harus sebut ini masalah atau bukan,” kataku.

“Kalian berantem? Lo sama Galih,” tanya Rahma.

Aku menoleh cepat dengan alis berkerut. “Kok lo tau ini soal Kak Galih?”

Rahma mengangkat bahu. “Pertama, secara finansial, lo baik. Selalu. Kedua, hubungan lo sama orang tua sejauh ini nggak pernah ada masalah.”

Aku tidak berkomentar. Membiarkan Rahma melanjutkan.

Teman MantankuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang