Semenjak hari di mana aku akhirnya mengetahui bahwa sahabat yang paling dekat denganku beberapa tahun ini ternyata menusukku dari belakang, aku memutuskan menutup salon untuk sementara waktu.
Tentu mereka semua bertanya-tanya apa alasannya, apalagi Rahma kukeluarkan dari grup hari itu juga. Tapi aku tidak mengungkapnya yang sebenarnya.
Kami terlibat cekcok dan meminta mereka untuk tidak menghubungi Rahma, ya itulah yang aku katakan agar rasa penasaran mereka sedikit terjawab.
Dan sejak hari itu pula, aku menjalani hari-hariku tanpa semangat. Tidak banyak bicara dan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar. Dan terus mempertanyakan, kenapa aku kembali merasa kehilangan?
Kenapa mereka yang kuanggap paling dekat denganku, justru menyakitiku? Bukan hanya sakit, tapi sangat sakit.
Aku tidak bisa membayangkan kehilangan selanjutnya terjadi lagi. Entah itu orang tuaku atau... Galih?
Pikiran burukku segera menguap saat pintu kamarku terbuka perlahan. Galih muncul di sana lengkap dengan senyumnya.
"Aku bawa sarapan." Galih meletakkan piring beserta tumbler di nakas kemudian duduk di pinggir tempat tidurku. Menyangga tubuhnya menggunakan tangan kirinya dan menatapku yang masih berbaring.
"Makasih, Kak."
"Masih butuh waktu?" tanya Galih.
Aku menggeleng pelan. "Nggak tau."
Galih tersenyum kecil. "Itu artinya kamu masih butuh waktu. Nggak apa-apa, mungkin kamu terlalu kaget karena kejadian tempo hari."
Aku hanya mengangguk.
Dua hari ini, aku malas berkegiatan termasuk masak. Karena itu, Galih seakan bertransformasi menjadi pengasuhku.
Sebelum bersiap berangkat kerja, Galih akan datang untuk menengok sekalian mengantarkan sarapan dan makan siang—yang cukup kupanaskan nantinya. Malam pun sama. Sepulangnya kerja, Galih membawakanku makanan, menemaniku sebentar lalu kembali ke apartemennya.
Namun dihari ketiga, ada yang berbeda.
Sejam lalu, Galih pamit ke dapur. Dia berinisiatif memasak makan malam untukku, sementara aku menunggu di kamar. Di saat aku tengah melamun, aku dikejutkan oleh suara gaduh dari arah dapur.
Aku melompat dari tempat tidur dan bergegas keluar kamar. Namun langkahku memelan setelah melihat punggung Galih yang tampak tenang.
Seakan tidak ada hal yang terjadi.
Sayangnya, ketenanganku hanya berlangsung sebentar. Begitu Galih berbalik—yang mungkin karena mendengar langkah kakiku—mataku terbelalak melihat darah mengalir dari jari telunjuknya.
Kakiku bergerak cepat menghampirinya. Di hadapannya, aku menggapai telunjuk tangan kirinya. Jarinya teriris cukup dalam.
Dilanda panik, aku sempat buntu dan bingung bagaimana harus bertindak. Aku bahkan tidak sadar air mataku telah mengalir deras.
Dengan tangan gemetar, aku menarik tiga lembar tisu yang ada di meja dan membalutkannya pada luka Galih.
"Aku nggak apa-apa," ucap Galih.
Aku mendongak dengan pandangan mengabur. Galih memang terlihat baik-baik saja dan tenang. Tapi hal itu justru menggangguku.
Air mataku mengalir semakin deras, tanpa bisa kubendung. Aku memeluknya dan menangis sejadi-jadinya. "Aku nggak maksud abaiin kamu, Kak. Jangan gini. Please, jangan sakiti diri kamu untuk cari perhatian aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Teman Mantanku
RomanceTujuh tahun pacaran, Chaca dan Tama akhirnya putus karena Tama menyukai juniornya di kantor. Namun yang justru lebih mengejutkan Chaca adalah teman baik Tama yang dulu selalu menjauhinya. Setelah putus dari Tama, Galih mulai terang-terangan mendekat...