"Adek mana ya, Kak?"
"Mungkin pulang."
"Coba tanyain dia dimana."
Abi melakukan apa yang ibunya katakan. Tapi begitu mengirim pesan, hanya ceklis satu. Ditelpon juga tidak aktif. Sebenarnya bukan hal aneh, karena ini Liant. Tapi Abi benci banget dengan adiknya yang seperti ini. Terlalu acuh pada apapun, tidak pernah memikirkan orang yang akan mengkhawatirkan dirinya.
"Gak aktif, Bu."
Kentara sekali wajah Dewi yang kecewa mendengar itu. Karena Liant yang tidak ada kabar membuatnya khawatir. Anak itu sudah pulang atau masih di luar. Sudah makan malam atau belum.
"Kayaknya di rumah, Bu. Kemana lagi kalo gak ada di rumah, dia gak punya temen main."
Benar, Dewi tau hal itu. Semoga saja anak itu ada di rumah dan tidak ada hal buruk seperti yang Dewi khawatirkan.
Sementara itu Liant yang baru saja sampai di rumah langsung masuk. Ia pulang menggunakan ojek online. Begitu masuk rumah, tujuannya langsung ke kamar. Tidak ada siapapun di rumah saat ini, terbukti dari halaman rumah yang kosong, tidak ada mobil.
Di rumah yang besar itu hanya ditempati oleh dua orang, tidak ada pekerja apapun disana. Urusan rumah ini, biasanya ada yang datang untuk mengurusnya, seminggu hanya satu kali, di hari minggu.
Meski besar, rumah ini jarang sekali dihuni. Hanya satu diantaranya yang selalu ada di rumah, itupun hanya saat malam. Rumah yang hanya menjadi tempat untuk beristirahat.
Dan yang aneh adalah Liant. Kemarin ketika disuruh pulang, ia tidak melakukannya. Sekarang saat tidak ada yang memintanya pulang, anak itu pulang dengan sendirinya. Benar-benar aneh.
Liant menghela napas melihat pintu kamarnya. Kenop pintu yang dirusak itu belum diperbaiki. Sebenarnya sudah sering kenopnya rusak, karena dibuka paksa, dipukul sampai hancur menggunakan benda berat.
"Kayaknya gue harus ganti pake pin aja, males ganti lagi nanti dirusak lagi. Sialan emang itu monyet," menggerutu karena keadaan pintunya yang bisa dibukan hanya dengan mendorong kayu bercat putih itu untuk membukanya.
Ini kesekian kali pintunya rusak, Liant harus membenarkannya sendiri jika mau bisa dikunci lagi. Dan terlalu malas remaja itu memanggil tukang untuk membenarkannya. Dia akan mengatakan ini pada Dewi, sudah terlampau sering meminta Dewi memanggil orang untuk membetulkan pintu kamarnya.
Biasanya Liant selalu mengunci pintu kamar saat ia masuk atau keluar, tapi sekarang tidak bisa karena sudah rusak.
Remaja tinggi itu melempar asal tas sekolahnya, masih menggunakan sepatu, ia berbaring di atas kasur, membiarkan kakinya menggantung ke bawah. Hingga tanpa sadar anak itu terlelap tanpa memedulikan apapun, bahkan sepatunya masih melekat.
Kamar yang semakin dingin membuat Liant yang bosan itu tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tidur. Anak itu bahkan tidak memikirkan Dewi dan Abi yang memikirkan dirinya. Liant memang seabai itu. Bukan hanya pada orang lain, pada dirinya sendiri pun tidak peduli. Ia tipe orang yang hanya melakukan apa yang dia inginkan dan mengabaikan banyak hal.
Tapi setidaknya, malam ini Liant damai, meski hanya sendiri di kamarnya, bahkan di rumah besar itu.
Begitu tengah malam remaja itu itu terbangun dari lelapnya. Posisinya masih sama, tidak bergerak sama sekali. Dengan kaki bersepatu yang menggantung ke bawah.
Segera ia lepas sepatunya dan melempar secara asal. Duduk termenung di atas kasur dengan wajah lusuh, masih mengumpulkan nyawa. Begitu melirik jam, ternyata jam tiga pagi. Masih tanggung. Lanjut tidur membuatnya kesiangan, itu pasti terjadi. Tidak tidur pun sayang, masih lama menunggu pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...