VOTE DULU BARU BACA!!
JANGAN LUPA BESOK SENIN HEHEHE
....
"Aku mau pulang dijemput."
"Nanti ayah jemput, sekalian kita jemput ibu ya."
"Tapi aku mau dijemput di kelas."
Abi tertawa mendengarnya. "Jangan ngada-ngada. Lo bukan bocah lagi, Dek."
Dewi memberi kode agar Abi diam. Karena Dewi tau kenapa Liant mengatakan demikian. Hamid sudah menceritakan semua hal yang ia dapat dari Liant. Tentang ketakutan anak itu keluar dari rumah sampai tidak mau pergi sekolah.
"Nanti ayah jemputnya sampai lobi deh. Ayah dateng sebelum bel. Gimana?"
"Mau dijemput di kelas."
"Ayah kan gak tau kelas adek dimana. Ayah pastiin nanti gak ada apa-apa, oke?"
Liant tetap menggeleng. Sepertinya ia benar-benar trauma Halim atau suruhan Halim datang ke sekolah dan menyeretnya seperti yang sudah-sudah. Liant yakin sekali Halim akan melakukan itu lagi. Mengingat beberapa waktu yang lalu ia tidak mendapatkan Liant, Halim pasti tidak akan menyerah.
"Aku gak mau sekolah."
Banyak sekali bukan tingkah Liant?
"Oke, nanti ayah jemput di kelas. Kelas adek dimana?"
"Di gedung C lantai tiga, kelas 2D."
"Ayah beneran mau jemput Liant sampe kelas?" tanya Abi sanksi.
Hamid mengangguk. Baru Abi akan membuka mulutnya lagi, tapi ia kembali diberi kode oleh Dewi agar tidak mengatakan apapun. Abi belum tau alasan Liant seperti ini apa. Belum ada yang memberi tau Abi.
"Sama gue aja berangkatnya, ayo, Dek."
"Mau sama ibu."
Oke, Abi ditolak. Baiklah jika anak itu maunya dengan ibu, Abi tidak akan memaksa. Padahal sudah berniat baik, malah ditolak. Padahal Abi juga tau, jika ada Dewi, Liant tidak akan mau dengannya. Ingat, Dewi itu nomor satu, baru setelahnya Abi dan Hamid.
Liant ke sekolah menggunakan masker medis. Ingat wajahnya yang belum sembuh, masih ada sisa memar yang terlihat jelas, itu harus ditutupi agar tidak menjadi perhatian orang.
Remaja itu berjalan santai menuju kelasnya. Wajah hancurnya tidak terlihat. Titik merah di bola mata putihnya sudah mulai memudar, meski masih terlihat. Kemarin Halim meninju bagian mata kiri Liant, sampai ada titik merah pada bola mata putihnya, juga memar di area mata yang sekarang menghitam. Untungnya tidak ada hal serius pada mata Liant. Halim memang tidak menganggap Liant, karena tidak ada rasa belas kasih saat menghancurkan putra kandungnya sendiri.
Sudah bukan hal anel Liant yang suka sekali izin sekolah. Sejak kejadian Halim memukulinya, Liant baru saja kembali masuk hari ini. Dewi sudah memberikan surat keterangan sakit yang dibuat dari rumah sakit Liant dirawat, jadi tidak akan menjadi masalah apapun untuk anak itu, karena alasannya kuat.
"Lo gapapa, Li?" ketua kelas yang duduk di depannya menoleh ke belakang untuk bertanya.
"Gapapa."
"Udah sembuh?"
"Udah."
"Syukur deh."
Ketua kelas mereka terkenal baik dan juga perhatian pada setiap murid di kelas. Benar-benar pemimpin yang bertanggung jawab. Ia juga yang mengurus kelas dengan baik. Aktif disetiap kegiatan yang diadakan OSIS. Tidak heran jika kelas mereka selalu mendapat gelar kelas terbaik.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...