13. dijemput ayah

152 16 1
                                    


Hati yang sebelumnya dingin beberapa waktu yang lalu, kini hangat mulai menyapa. Liant yang sebelumnya seolah hilang rasa, sekarang mulai kembali mendapati hatinya memiliki rasa.

Remaja itu kali ini kembali dengan seragam sekolahnya. Meski wajahnya belum benar-benar membaik. Masih ada lebam dan sisa luka yang terlihat. Namun karena perasaannya lebih baik, Liant sudah bisa sekolah seperti biasa. Sudah cukup banyak Liant membolos sekolah.

Pagi ini di ruang makan keluarga Hamid, empat orang dengan usia berbeda itu tengah berkumpul menyantap makan pagi sebelum beraktivitas. Tidak ada satupun yang berbicara, hanya berpusat pada makanan masing-masing.

Abi hari ini memiliki kelas pagi, tidak terlalu pagi sebenarnya, pukul sepuluh nanti. Tapi ia tetap bangun lebih pagi, tidak ada alasan untuk bangun siang, karena tadi malam ia tidur lebih awal, pukul dua belas.

"Kakak mau berangkat duluan atau nanti?"

"Sebentar lagi, Bu. Kayaknya jam delapan."

"Yaudah, nanti tolong semua pintunya dikunci ya, Kak."

"Iya, Bu."

Setiap Hamid pulang, ia sendiri yang mengantar jemput istrinya kerja. Karena tidak ada pekerjaan lain lagi. Hamid jika libur, maka benar-benar libur, tidak harus memikirkan pekerjaan apapun saat di rumah.

Dewi memberikan sebuah masker kemasan pada Liant. Karena tau anak itu tidak mau berangkat sekolah dengan wajah yang terekpos. "Ini masker adek, dipake ya."

Liant mengangguk. Ia ambil satu masker dalam kemasan itu untuk ia gunakan.

"Ayo, Dek, berangkat sekarang."

Liant senang bukan main, karena ia diantara Dewi juga Hamid. Hal seperti ini saja membuat hati anak itu seperti ditumbuhi berbagai bunga indah.

"Yes! Aku jadi anak tunggal ayah sama ibu!" Liant berseru senang. Dalam hati ia memanasi kakaknya. "Kasian kakak sendirian, jangan nangis ya, Kak," meledek Abi setelahnya.

"Inget fakta aja, mereka punya gue, sedeket apapun lo sama mereka."

Perkataan Abi itu membuat Liant terdiam.

Ups. Abi segera menatap ibunya setelah menyadari apa yang dia katakan. Yang ternyata sang ibu juga menatapnya. Mampu membuat Abi tersenyum tanpa rasa bersalah, walau dalam hati ia merutuki dirinya.

Dengan isyarat Dewi, akhirnya Abi meminta maaf, "maafin, gak sengaja," hanya begitu yang Abi katakan.

Abi ini memang, jika membalas candaan adiknya, kenapa begitu tajam. Tidak bisakah dia balas dengan hal yang lebih baik, setidaknya tidak merusak suasana hati Liant atau jangan membuatnya marah.

"Ayo, Sayang, kita berangkat. Ayah udah tungguin di depan."

Liant mengikuti ibunya. Meninggalkan Abi di rumah sendiri. Ingatkan Liant, dia masih kemusuhan dengan kakaknya itu.

Tapi Liant masih tetap merasakan bahagia. Karena pagi ini ia diantar oleh ayah juga ibunya. Satu hal yang menjadi sangat menyenangkan untuk Liant.

Tidak sering diantar seperti ini, karena Hamid yang bekerja dan tidak selalu bisa pulang ke rumah. Juga, biasanya Liant sering diantar oleh Abi ke sekolah. Jika Abi tidak bisa, barulah ia diantar Dewi.

Padahal pagi ini bisa saja yang mengantar Liant adalah kakaknya. Tapi karena tadi Dewi mengatakan akan mengantarnya ke sekolah, jadilah Abi tidak perlu mengantar Liant.

Entah menyadari atau tidak, sejak tadi Liant tersenyum memandangi jalanan yang pagi ini sudah cukup ramai. Dan itu tidak luput dari pengawasan Hamid, yang sesekali melihat padanya melalui spion tengah.

BRILLIANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang