52. harus diselesaikan

108 20 4
                                    

VOTE DULU BARU BACA!!!

ps. aku gatau ini udah revisi lagi atau belum, tapi upload aja deh. Ga sempet mau revisinya.

---


"Ayah titip salam tadi. Besok mau ajak ke rumah nenek, adek bisa?"

"Ibu?"

"Ibu sama kakak bisa."

Jika ibunya bisa, maka ia akan usahakan untuk bisa. Fino atau Mahen, keduanya sama saja. Semua hal yang akan mereka lakukan itu tergantung pada ibu mereka.

"Adek, ibu mau tanya sesuatu."

Mahen menatap ibunya, menunggu lanjutan.

"Gimana perasaan adek soal ayah?"

"Ayah Halim?" Mahen memastikan.

"Iya. Adek seneng punya ayah? Ada gak perasaan terpaksa karena ibu menikah sama ayah? Apa adek merasa lebih baik setelah punya keluarga yang utuh?"

"Aku bingung harus jawab gimana, Bu."

"Jawab yang jujur. Ibu mau tau perasaan adek. Jangan pikirin apapun dulu, ibu cuma mau tau perasaan adek. Bener-benar hal yang adek rasain."

Mahen diam sebelum menjawab. "Aku seneng. Aku suka punya ayah, Bu. Ayah Halim baik, aku jadi tau rasanya punya ayah setelah ibu menikah. Udah dari lama aku pengen punya ayah. Maaf, Bu, sebelumnya aku malah berandai kalo aku bisa punya ayah kayak Ayah Halim. Aku gak pernah inget rasanya punya ayah gimana. Aku suka semua perhatian yang Ayah Halim kasih."

Renata paham. Dibalik diamnya Mahen, ternyata ada perasaan yang baru Renata pahami. Sebelumnya Renata tidak yakin bagaimana tanggapan anak-anakanya tentang ia yang menikah dengan Halim. Mereka hanya mengatakan setuju jika itu untuk kebahagiaan ibunya, sebelum Renata menerima Halim.

Putra bungsunya harus kehilangan sosok ayah saat ia masih belum memahami apapun. Sosok orang tua yang tidak pernah Mahen dapati. Tapi semenjak kenal Halim, lelaki itu begitu baik pada putranya. Begitu memperhatikan mereka, menyayangi mereka, selalu memberi pujian untuk pencapaian atau bahkan hal kecil, Halim selalu hadir di banyak momen.

Renata bahkan terkejut saat Mahen mengatakan tentang ia yang pernah berandai memiliki ayah seperti Halim. Sekarang, apa yang putranya inginkan itu terwujud. Renata senang, karena tau Mahen ternyata bisa menerima Halim dengan baik. Ternyata putranya memang butuh sosok itu, meski Renata selalu melimpahkan kasih sayang yang tidak terhingga padanya.

"Tapi aku gak rela ada orang yang sakitin ibu. Sekalipun itu ayah. Kalo ibu gak bisa sama dia lagi, aku setuju. Aku cuma mau yang terbaik untuk ibu. Ibu segalanya untuk aku. Aku cuma jawab pertanyaan ibu dengan jujur, tapi tolong jawaban aku jangan ibu jadiin landasan untuk ambil kesimpulan. Kalo ibu udah gak bisa, jangan dipaksa, ibu masih punya aku sama kakak. Aku juga masih punya ibu sama kakak."

Renata tersenyum mendengarnya. "Kalo kakak, gimana perasaan kakak?"

"Bu, sejak lama perasaan aku itu tergantung ibu. Yang buat aku seneng dan bahagia cuma kebahagiaan ibu. Aku gak akan biarin siapapun ngelukain ibu aku."

"Kak, boleh temani ibu?"

"Kemana?"

"Ibu mau keluar sebentar."

Fino mengangguk.

"Aku?"

"Adek di rumah aja ya? Ibu sebentar aja sama kakak."

"Tapi kemana?"

"Ada yang mau ibu urusin, sebentar aja, ya?"

Tau ibunya tidak akan mengatakan tujuannya, Mahen hanya mengangguk. "Hati-hati. Ini udah malem, Bu, jangan lama-lama."

BRILLIANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang