Saat siang hari, begitu waktunya makan siang, Dewi hampiri Liant. Tapi anak itu masih terlelap. Tidak dibangunkan, karena Dewi tidak mau mengganggunya. Membiarkan Liant tenang adalah hal yang perlu dilakukan saat ini.
Dewi tidak akan lama-lama meninggalkan Liant. Karena ia juga menyadari, Liant membutuhkannya.
Abi tidak ada, setelah menenangkan Liant, setelah anak itu tidur lagi, ia segera berangkat ke kampus. Abi tidak bisa membolos kelas, karena sudah di kelas-kelas terakhir, jadi ia tidak bisa melewatkan kelas.
Ayahnya juga mengatakan untuk ia pergi saja, karena Hamid bersedia menemani. Toh, sepanjang hari Liant hanya tidur.
Liant baru bangun begitu waktu menunjukkan pukul empat sore. Puas sekali ia tidur di siang hari yang seharunya pergi ke sekolah. Remaja tinggi itu termenung menatap arah jendela yang tirainya terbuka. Cahaya keemasan sore masuk menerangi kamar, membuat kamar terang tanpa perlu menyalakan lampu.
Suara pintu terbuka tidak membuat Liant mengalihkan perhatiannya ke arah jendela. Setia menatap kesana, tanpa ada objek yang menarik.
Orang yang baru saja memasuki kamar itu mendekat ke arah kasur, hingga dapat melihat Liant yang sudah membukanya. Tidak seperti beberapa waktu yang lalu.
"Adek," menempati diri di sebelah Liant, ia usap lembut helaian pekat itu. "Maafin ibu ya."
"Aku yang minta maaf, Bu. Maaf buat ibu marah," katanya setelah membenarkan posisinya menjadi duduk.
Dewi peluk remaja tinggi itu, ia usap punggung juga belakang kepalanya dengan begitu lembut. Dewi juga tumpukan dagunya pada bahu Liant. Perasaan menyesal karena tadi dia sampai tidak bisa menahan emosi, meski ia sama sekali tidak marah pada Liant.
"Adek harus percaya, ibu sama sekali gak marah," Dewi seperti bagaimana biasanya. Bicaranya begitu lembut. "Ibu cuma kecewa sama diri ibu. Sakit sekali liat adek kayak gini. Ibu jaga adek dari dulu, tapi kenapa orang bisa hancurin adek sampai kayak gini."
"Maaf."
"Ibu yang minta maaf, gak bisa jaga adek lebih baik."
"Aku minta maaf, udah buat ikut khawatir. Jangan pergi, Bu. Jangan tinggalin aku. Aku gak mau."
"Ibu gak akan pergi kemanapun. Ibu selalu sama adek, sama kakak. Kita sama-sama terus ya."
Liant tidak menjawab, ia biarkan tubuhnya bersandar pada ibuya. Nyaman sekali berada di depakan ibunya seperti ini. Hanya Dewi yang Liant butuhkan, tidak mengingkan apapun.
"Adek belum makan dari pagi. Ayo kita turun, adek harus makan."
Liant tidak menolak. Mengikuti ibunya sampai ke ruang makan. Liant bahkan membiarkan sang ibu menyuapinya makan.
"Aw."
"Kenapa, Sayang?"
"Sakit," Liant mengeluh sakit pada sudut bibirnya yang terluka ia buka untuk menerima suapan Dewi.
"Pelan-pelan aja, atau mau dibuatin bubur?"
"Gak mau."
"Pelan-pelan aja kunyahnya," makanan yang Dewi suapkan lebih didikitkan porsinya, agar Liant tidak perlu membuka bibinya dengan lebar.
"Aku pulang," Abi berucap begitu memasuki ruang makan. Sebenarnya ia sudah melihat disana ada Dewi dan Liant, karena itu berucap demikian, untuk mendapat atensi keduanya.
Jika saja keadaan Liant tidak seperti ini, Abi pasti akan mengejek remaja yang lebih tinggi darinya itu. Makan disuapi, suka sekali Abi menggodanya. Tapi Abi tidak lakukan, untuk sekarang ia lebih berhati-hati saat berhadapan dengan Liant.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...