11. kecewa

146 17 0
                                    

Pagi ini berbeda dari biasanya. Karena satu anggota keluarga mereka yang hanya bisa berada di rumah sesekali, hari ini bisa bergabung dengan keluarganya.

Meski tidak bekerja, Hamid selalu bangun pagi saat di rumah. Karena bangun pagi itu sebuah kewajiban. Duduk di teras rumah yang masih segar, apalagi terdapat cukup banyak tumbuhan di halaman depan rumahnya.

Dewi hampiri suaminya di luar, dengan satu gelas teh jahe hangat. Kemudian duduk di bangku, menjadikan meja pembatas antara mereka. Masih begitu pagi, bahkan langit masih cukup gelap.

"Gak bangunin anak-anak, Bu?"

"Sebentar lagi. Biasanya mereka dibangunin jam enam kurang sepulu. Tapi gak tau nih kakak semalem pulang jam berapa. Ibu ketiduran, anaknya juga gak kasih kabar kayak biasa."

Hamid mengangguk kecil.

"Kerjanya gimana, Bu?"

"Lancar. Ayah gimana?"

"Ya, sama. Gitu-gitu aja."

Karena pekerjaan, Hamid memang tidak bisa selalu berada di rumah. Tidak seperti kepala keluarga lainnya, yang setiap hari bisa pulang. Hamid hanya bisa pulang sesekali, kebanyakan waktunya di luar untuk bekerja. Namun sekali libur, Hamid memiliki banyak waktu untuk istiraha, bisa sampai libur satu bulan.

"Hari ini banyak jadwal ya, Bu?"

"Enggak terlalu untuk hari ini."

"Pulangnya?

"Kayaknya jam tiga udah bisa pulang. Kayaknya bisa sekalian jemput Liant. Atau ayah ada rencana pergi?"

"Gak ada, hari-hari pertama gini, lebih baik di rumah dulu, istirahat."

Dewi mengangguk setuju. Pasangan yang sudah tidak muda lagi itu menikmati waktu mereka dengan mengobrol santai. Biasanya mereka hanya berbicara via telepon, yang tidak terlalu sering, karena perbedaan kegiatan, juga waktu yang sering berbeda.

"Ibu bangunin anak-anak dulu deh."

Hamid biarkan istrinya pergi.

Dewi terpaku di tempatnya saat melihat dua lelaki itu tidur. Tidak, bukan pada keduanya. Tapi pada satu diantara mereka. Sebuah rasa nyeri ia rasakan di dadanya melihat bagaimana hancurnya wajah Liant. Bahkan tidak sadar matanya langsung berkaca-kaca.

Anak itu tidur pulas sekali, sama seperti Abi yang tidur dengan pulas di sampingnya. Dewi mendekat, duduk di samping Liant yang posisi tidurnya meringkuk ke bagian pinggir kasur.

Siapa yang berani menyakiti Liant, disaat Dewi menjaga anak itu dengan sepenuh hatinya. Banyak hal telah Dewi upayakan untuk anak itu, dan itu tidak terima Liant sampai seperti ini.

"Adek, bangun."

"Ayo bangun."

"Hmm," Liant menggeliat sebelum membuka matanya. Tidurnya malam ini nyenyak sekali, sampai lupa apa yang terjadi semalam. "Bu."

Tidak bisa menahan diri, Dewi langsung peluk remaja tinggi kesayangannya itu. Mengusap lembut surai Liant yang meski berantakan tetap lembut di tangannya.

Dewi bingung bagaimana memulainya. Dalam beberapa menit, hanya adu tatap yang ia dan Liant lakukan. Menahan diri untuk tidak menangis di depan Liant adalah hal yang cukup sulit. Tapi Dewi tidak mau anak itu melakukan hal yang sama.

"Adek baik?" pertanyaan itu begitu pelan, Dewi bawa tangannya memegangi rahang Liant, dengan usapan hati-hati.

Liant menyembunyikan diri kedalam pelukkan ibunya dan menangis terisak disana. Ia tidak mau dilihat dalam keadaan seperti ini oleh ibunya.

BRILLIANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang