VOTE DULU BARU BACA WKWKWKWKW
....
"Ibu gak usah kaget. Liant sering kayak gitu kalo berhadapan sama orang gila itu."
"Maksud kakak apa?"
"Itu, Liant yang ibu liat tadi. Itu udah biasa kalo Liant berhadapan sama dia," seolah tau apa yang membahas hal itu. Ff z yu,
"Kenapa gak bilang kalo Liant kayak gitu?"
"Emang ada pengaruhnya? Liant kayak gitu cuma ke dia doang. Gak pernah bersikap kayak gitu ke orang lain. Menurut aku itu wajar."
"Tapi gimanapun Halim ayahnya, Kak. Gak pantas rasanya kalo Liant kayak gitu."
"Aku gak yakin kalo Liant anggap dia ayahnya. Lagian, Bu, Liant gak akan kayak gitu kalo bukan dia yang ngajarin. Ibu bisa liat sendiri gimana dia ngomong sama Liant. Udah pasti dari orang itu Liant belajar. Liant gak akan kayak gitu ke kita, karena kita gak pernah ajarin itu ke dia."
Kenapa urusan dengan Liant itu begitu rumit. Dewi sampai melupakan sejenak kecewa yang sebelum ini ada untuk Liant juga Abi. Melihat bagaimana kacaunya Liant setelah bertemu Halim, membuat Dewi tidak bisa mengabaikannya. Liant bahkan tidak mau mendengarkannya. Dewi tidak akan memaksa, jika dipaksa hasilnya tidak akan baik.
"Udah malem, sebaiknya kakak tidur, sekalian temani adek."
Abi mengangguk. "Ibu juga istirahat."
***
Begitu pagi, Dewi membangunkan Liant. Anak itu mengatakan tidak mau sekolah. Dan Dewi tidak akan memaksanya untuk sekolah. Karena menurut Dewi, apa yang Liant inginkan adalah yang terpenting untuk sekarang ini. Bukan maksud memanjakan. Tapi dengan suasana hatinya yang demikian, Dewi tidak ingin memperburuknya.
"Tapi ibu harus kerja. Adek di rumah sendiri gapapa?"
"Ikut."
"Ikut kerja?"
"Iya, mau ikut ibu aja."
Dewi setuju. Meski sedikit keberatan. Rumah sakit itu bukan tempat yang baik untuk didatangi. Tapi jika Liant ingin, ia akan membawa anak itu ikut dengannya bekerja. Dewi juga yang menghubungi wali kelas Liant untuk meminta izin anak itu tidak bisa datang hari ini.
"Yaudah siap-siap, ibu tunggu di bawah ya."
Liant menuruti ibunya. Langsung pergi ke kamar mandi dan segera bersiap. Lantas segera menemui ibunya di ruang makan. Sudah ada Abi disana, sepertinya bangun lebih awal.
"Gimana perasaan lo?"
"Gatau," jawab Liant dengan acuh. Karena ya, ia tidak mengerti perasaannya saat ini. Merasa hampa, tidak ada rasa senang atau sedih. Tidak merasakan emosi apapun.
Mendapat jawaban seperti itu, Abi hanya memandangi Liant yang mulai memakan sarapannya. Menebak bagaimana perasaan Liant sekarang. Dewi sudah mengatakan dia akan membawa Liant kerja. Jadi Abi tidak bertanya lagi saat pagi ini melihat Liant menggunakan pakaian bebas, bukannya seragam sekolah.
"Aku berangkat ya, Bu. Dek, gue duluan," setelah selesai, Abi pamit duluan. Ia ada kelas pagi, harus berangkat lebh awal hari ini.
Tidak lama dari Abi, Dewi dan Liant juga berangkat.
Dulu Dewi bekerja bisa sampai di tiga rumah sakit yang berbeda. Tapi sekarang, karena usianya yang sudah tidak muda, juga atas saran suaminya, Dewi hanya bekerja di satu rumah sakit spesialis utama.
Begitu sampai, Dewi langsung membawa Liant ke ruangan miliknya. Dewi menjadi salah satu dokter kepala di spesialisnya. Diantara beberapa gelar yang Dewi miliki, salah satunya adalah Sp.JP atau yang bisa dikatakan spesialis jantung dan pembuluh darah. Sudah dua puluh tahun lebih Dewi bekerja dalam bidang itu. Salah satu dokter yang menjadi rekomendasi. Dewi sudah mendapat gelarnya bahkan sebelum putranya lahir.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...