42. bertemu empat

81 14 0
                                    


Hari libur ini Dewi meminta Abi untuk menemani Liant. Karena tidak ada kegiatan, Abi menuruti ibunya. Hanya berdua, Dewi tidak ikut.

"Kak Calvin."

Calvin menoleh, mendapati Liant dan Abi sudah ada di dekat mejanya. Pemuda itu mempersilakan keduanya untuk duduk. Calvin tidak sendiri, ia bersama seseorang yang menemaninya.

"Ini kakak kamu, Liant? Anaknya Dokter Dewi?"

"Iya, Kak. Kak Abi, ini temennya ibu."

"Calvin."

"Abi."

"Oh iya, ini adik saya, Liant."

"Nicholas," orang yang bersama Calvin mengulurkan tangannya pada Liant dengan senyum cerah yang terukir.

"Liant."

"Kelas berapa, Liant?"

"Kelas dua."

"Wah kita sama."

Liant memerhatikan Nicholas yang nampak semangat sekali ketika berbicara. Padahal Liant hanya menanggapi sekedarnya saja.

Dewi yang meminta Abi untuk menemani Liant bertemu Calvin. Ingin membuat pertemuan mereka seolah hanya pertemuan biasa. Tanpa membuat Liant merasa terbebani.

Dan ternyata, membawa sang adik bersamanya, bukanlah sebuah kesalahan. Nichol lebih banyak membantunya. Ia sejak tadi memiliki banyak topik obrolan untuk ia bicarakan pada Liant. Meski awalnya Liant hanya menanggapi sekedarnya saja. Seiring berjalannya waktu, Liant terhanyut. Nichol sama seperti kakaknya, mampu membuat orang lain tanpa sadar merasa nyaman dan larut dalam obrolah. Liant adalah korban dari kedua kakak beradik ini.

Bahkan Abi hanya memerhatikan obrolan dua remaja seusia itu. Sesekali Calvin mengajaknya bicara. Dewi sudah mengatakan tentang Calvin padanya. Siapa Calvin sebenarnya dan maksud Dewi mengenalkan Liant padanya. Jadi Abi tidak keberatan saat Dewi meminta padanya.

"Kamu ikut ekstrakurikuler apa, Liant?"

"Santai aja ngomongnya, gak usah kayak gitu," jujur geli mendengar Nicholas berbicara demikian. Sejak tadi Nicholas berbicara seperti itu. "Gue ambil seni lukis."

"Wah, jago gambar dong? Gambar gue setara sama anak TK sampe sekarang. Gambar dua gunung yang ada sawah sama jalan di tengahnya hahaha," remaja itu terkekeh setelahnya. Memang benar yang ia katakan, ia sama sekali tidak bisa menggambar.

"Gue juga gak jago kok, cuma hobi aja."

"Bohong tuh, Nic. Karya dia aja sampe dipajang sama ibu di rumah. Hampir setiap tembok ada karyanya dia."

"Wah, beneran?"

"Kemaren juga abis juara satu melukis."

"Kak, apasih," Liant menggerutu saat kakaknya ikut campur pembicaraannya dengan teman barunya ini. "Kalo lo ikut apa, Nic?" mengalihkan Nicholas dari pembahasan tentang dirinya.

"Di sekolah sih gak ikut apa-apa, tapi gue ikut kegiatan di luar."

"Emang boleh?"

"Boleh aja, buktinya gue gak ikut apa-apa. Kegiatan di luar udah penuh, jadi gak mau ikut di sekolah lagi."

"Kegiatan apa aja?"

"Bela diri, dance, les. Udah full satu minggu setelah pulang sekolah. Jadi gue rasa cukup."

"Oh ya, abis ini lo mau lanjut ambil apa?" sebenarnya pernyataan yang sudah wajar ditanyakan untuk seorang murid SMA. Pernyataan umum.

"Belum yakin. Lo sendiri?"

BRILLIANTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang