Abi terkejut saat Dewi memasuki rumah bersama dua orang asing yang membawa Liant. Tidak bertanya apapun, karena bukan waktu tanya-tanya. Tapi ia ikuti kemana mereka pergi.
Satu kamar di lantai bawah. Liant ditempatkan disana. Abi amati sang ibu yang mulai merawat Liant. Awal sekali menempatkan satu bantal di bawah lutut, satu bantal lagi di kepalanya. Dewi juga melonggarkan ikat pinggang dan dasi yang Liant gunakan. Omong-omong, anak itu menggunakan setelan formal, kemeja dan celana bahan. Awalnya menggunakan jas, tapi sudah dilepas sebelum pulang tadi. Sepatunya juga dilepaskan.
Dua orang tadi belum pergi, masih ada disana melihat apa yang Dewi lakukan pada putra bosnya itu.
Dewi segera mencuci tangannya dengan bersih sebelum memakai sarung tangan steril. Menyutikkan sesuatu pada botol berisi cairan NaCl. Dan menempatkan botol NaCl itu di tempat yang aman.
"Sesak, Sayang?"
Anggukan kepala sebagai jawaban. Dewi memakaikan oximeter di jari Liant, untuk mengetahui kadar oksigen, dan sebagai pencegahan hal buruk.
"Adek, ibu izin pasang ini ditangan ya?" sebelum bertindak, Dewi meminta izin. Jika Liant mengatakan tidak, maka tidak akan ia lanjutkan.
"Sakit."
"Tahan sedikit ya, biar adek baikan."
"Jangan sakit ya, Bu."
"Iya, lemesin tangannya."
Setelah persetujuan itu, Dewi memasukkan jarum pada punggung tangan Liant, tentu setelah ia menemukan titik yang tepat.
Tetap melanjutkan meski Liant meringis perih begitu jarum kecil nan panjang itu menusuk kulitnya.
Diusap lembut kulit sekitar jarum tadi setelah selesai membalutnya. Juga tidak lupa mengatur jalannya cairan itu.
Ruangan berisi beberapa orang itu hening. Hanya memerhatikan Dewi yang terlihat begitu telaten. Seperti seorang perawat handal yang sudah terbiasa.
Liant sudah diberikan obat, anak itu lebih tenang daripada beberapa waktu yang lalu. Juga diberikan cairan NaCl untuk mengganti cairan tubuh, karena Dewi mendapati Liant dehidrasi ringan.
Dewi juga bertanya pada Galih apa yang terjadi pada Liant, maksudnya gejala awal. Mengatakan Liant yang sempat muntah dan mengeluhkan sakit perut. Segera Dewi berikan pertolongan pertama. Jika keadaannya belum membaik, baru Dewi akan membawanya ke rumah sakit. Tapi Dewi sendiri yakin bisa menangani Liant sebaik yang ia bisa.
"Masih sakit, Sayang?"
"Perutnya perih."
"Sebentar lagi sakitnya hilang. Adek boleh tidur."
"Sakit."
Rengekkan itu membuat Dewi mengusap perut Liant dengan lembut. Ia juga sempat membalurkan minyak kayu putih disana, agar terasa lebih nyaman.
"Maaf, apa Liant gapapa, Bu?"
"Gapapa, cuma perlu istirahat."
"Boleh pulang?" Galih bertanya dengan ragu. Ia tau memang terdengar tidak tau diri pertanyaannya. Tapi Liant harus pulang, Halim pasti akan bertanya setelah ini.
"Aku mau disini, Bu."
"Iya, adek istirahat disini aja. Adek gak akan kemana-mana."
"Kalian siapa?" Abi yang sejak tadi diam segera buka suara untuk mengetahui siapa dua orang asing yang sampai masuk ke rumahnya.
"Saya Galih, orang yang ditugasin Pak Halim untuk jaga Liant."
"Babysitter?" pertanyaan ini sebenarnya sarkas. Entah Galih menyadari atau tidak. Padahal bisa saja Abi menyebut yang lebih keren, bodyguard misalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...