Hari ini Liant menolak sekolah. Anak itu mengatakan tidak ingin sekolah. Bahkan tidak mau pergi sekolah lagi, mengatakan ingin berhenti sekolah. Jelas itu membuat Dewi tidak mengerti. Apa yang membuat Liant sampai berpikiran demikian?
Dewi ada jadwal hari ini, tidak bisa ia tidak datang. Jadi terpaksa meninggalkan Liant di rumah. Untungnya masih ada Hamid. Setidaknya Liant tidak benar-benar sendirian.
Tidak bisa Dewi menyelesaikan urusannya dengan Liant sekarang juga, karena dia harus segera berangkat. Tapi saat pulang nanti ia akan membereskannya, harus bertanya dengan perlahan pada Liant dan mencari tau apa yang terjadi.
"Ibu berangkat ya, Sayang," Dewi mengusap lembut rambut Liant dan mengecupnya singkat sebelum berangkat. Dewi berangkat sendiri, karena Liant tidak mengizinkan Hamid pergi. Tidak paham ada apa dengan Liant, tapi ia tidak mau ditinggal. Berakhir dengan Dewi yang berangkat sendiri. Biasanya Dewi selalu diantar saat ada Hamid, tapi itu bukan masalah besar.
"Kita mau kemana nih, Dek? Masa di rumah aja?"
"Aku mau di rumah."
"Kenapa, kok kayaknya gak mau keluar rumah, gak mau ditinggal, iya kan?"
Liant tidak menjawab.
"Ayo, cerita sama ayah, biar ayah tau. Biar ayah bisa kasih solusi. Gak mungkin kan adek kayak gini terus?"
"Aku udah bilang, aku takut."
"Takut? Takut apa?" Hamid tidak mengerti apa yang Liant katakan. Ia kembali memikirkan apa yang dimaksud Liant. Mencoba menghubungi beberapa hal dengan apa yang Liant katakan. Sudah bilang katanya, apa yang dimaksud adalah ucapan tadi malam?
"Kamu takut keluar rumah? Takut ketemu Halim lagi?" satu hal yang Hamid dapatkan setelah memikirkannya. "Coba bilang kalo emang iya."
"Iya, dia selalu tarik aku kalo aku keluar. Dia bahkan sampe samperin aku ke sekolah kalo dia mau aku pulang ke rumahnya. Aku takut, aku gak mau."
Yang dikatakan Liant benar adanya. Ia tidak mau keluar rumah, karena ia takut. Ia juga tidak mau ditinggalkan sendirian, karena tau Halim itu orangnya nekat. Saat Halim ingin Liant pulang, dia pasti akan menunggu Liant. Beberapa kali Liant diseret paksa dari sekolahnya akibat ulah Halim. Tidak mengerti dengan jalan pikir orang itu.
"Kan ayah bilang gak usah takut."
"Gak takut gimana? Dia selalu seret aku pulang, dia tungguin aku di sekolah, dia suruh orang untuk maksa aku ikut. Dia bawa aku ke rumah, pukulin aku. Ayah gak paham! Sakit, ayah!" dengan emosi Liant mengatakannya. Rasanya sangat menakutkan, Liant takut. Tapi kenapa tidak ada yang mengerti.
"Maafin ayah, Dek. Tapi ayah janji, gak akan biarin Halim bawa kamu lagi. Gak akan diam aja kalo sampe dia berani ambil kamu. Karena ayah gak kasih izin kamu kesana."
"Ayah bilang sama ibu, sama kakak, supaya jaga kamu. Biar Halim gak bisa bawa kamu lagi. Adek harus percaya. Gak ada dari kami yang rela kamu kesana lagi. Udah cukup, ibu, ayah, kakak, gak mau Liant terluka lagi. Liant disini sama kami terus, itu mutlak. Liant anak ayah, anak ibu, adiknya kakak. Ngerti kan? Gak perlu takut lagi."
Entah kenapa ucapan Hamid membuat Liant merasa lega. Meski sedikit, ia merasa lebih baik. Apa Liant bisa bergantung pada keluarga Hamid terus? Selamanya?
"Aku boleh disini terus, Yah?"
"Sampai kapanpun, rumah ini terbuka untuk Liant. Liant sama Kak Abi sama untuk ibu sama ayah."
"Adek tau gak, ibu sayang banget sama adek, bahkan sejak pertama ketemu adek. Kayaknya tanpa ibu bilang, adek tau itu kan? Adek yang bisa rasain sendiri gimana sayangnya ibu ke adek. Ayah benar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...