Setelah perjalanan pulang yang diisi dengan keheningan, kendaraan roda empat itu berhenti di depan rumah. Halim terburu keluar, ia tau Liant akan berniat kabur darinya, jadi pergerakkannya cepat menghalangi. Kembali menarik anak itu masuk ke rumah dengan paksa.
Begitu masuk ke rumah, tidak menunggu lebih lama, Halim segera mendaratkan kepalan tangannya ke wajah Liant sampai remaja itu limbung. Tidak sekali, Halim melakukan beberapa kali karena emosinya yang tersulut. Merasa begitu membenci anak tidak tau diri seperti Liant.
Di posisinya Liant sama sekali tidak bisa membela diri. Ia tidak pernah ikut bela diri apapun. Jadi saat orang melakukan kekerasan padanya, ia tidak bisa mengambil langkah apapun selain menghindar. Tapi posisinya sudah tidak sempat menghindar. Liant tidak bisa bergerak sedikitpun.
Kembali menarik tangan Liant sampai anak itu berdiri. Rambutnya dia tarik, sebelum kembali mendaratkan kepalan tangannya. Tidak peduli pada wajah anak itu yang sudah tidak berbentuk.
"Lo bener-bener gak tau diri, sialan! Gue penuhin semua yang lo butuhin, bahkan berguna sedikit aja lo gak bisa, anak gak tau diri! Bangsat!"
Rahang Liant ia cengkram kuat, mengarahkan anak itu agar menatap padanya. Anak itu harus tau seberapa bencinya Halim padanya.
Liant menepis tangan itu dari rahangnya dan berhasil lepas. "APA LAGI SALAH GUE, ANJING! LO SURUH GUE DIEM UDAH GUE TURUTIN! MAU LO APA LAGI, ANJING! LO YANG BANGSAT!" Dengan berani Liant membalas, ia bahkan berteriak kencang sampai urat di lehernya tercetak jelas.
Dan itu membuat Halim harus membalasnya. Ia tendang perut Liant sampai kembali jatuh. Kali ini tidak menggunakan tangan, Halim gunakan kakinya untuk menendang Liant.
"MATI AJA LO, ANAK GAK BERGUNA!!" setelah berkata demikian, ia tendang kuat punggung Liant yang meringkuk di lantai menahan sakitnya tendangan-tendangan Halim.
Meski belum puas, Halim meninggalkan anak itu begitu saja. Tidak peduli apa yang akan terjadi padanya. Halim pikir, emosinya tidak akan selesai jika urusannya dengan Liant. Hanya melelahkan dirinya jika terus memaksa.
Liant meringis kesakitan di tempatnya. Butuh beberapa waktu sebelum ia bisa menggerakkan lagi. Sakit, semua rasanya sakit. Liant paksakan dirinya untuk berdiri. Segera pergi meninggalkan rumah itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat saat Liant membuka pagar, ia segera masuk ke dalam. Tapi ia tidak masuk ke rumah. Memilih untuk duduk di bangku teras.
Duduk menyandarkan seluruh tubuhnya pada sandaran bangku yang ia duduki. Ia memilih diam, membiarkan rasa sakit menyerang dirinya.
Tidak pernah ia diperlakukan sampai separah ini. Sebelumnya, memang ia sering terkena tangan Halim. Tapi tidak seburuk ini. Biasanya Halim selalu menahan diri, bahkan lebih sering memberi gertakan tanpa benar-benar menyentuh Liant. Tapi kali ini sepertinya yang Liant lakukan tidak lagi bisa dimaafkan.
Suara motor yang berderu keras membuyarkan lamunan Liant. Ia tau sekali suara motor siapa. Suara motor yang lumayan lama tidak dia dengar.
"Dek, tolong bukain pagarnya!" teriak orang dari luar pagar.
Liant segera beranjak dari tempatnya. Membukakan pintu agar orang itu bisa masuk ke dalam. Liant juga membuka pintu garasi agar motor besar dengan merk Harley itu bisa langsung masuk. Sambil menunggu motor diparkirkan dengan benar, Liant kembali tutup pagar rumah.
Orang yang baru pulang itu segera membuka helmnya dan ia simpan di tempat penyimpanan helm dalam garasi.
Garasi rumah itu cukup panjang, bisa memuat dua mobil. Jadi motor itu bisa masuk, meski sudah ada sebuah mobil terparkir di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...