"Lili."
Gadis itu menoleh begitu seorang memanggilnya. Liant, tumben sekali dia memanggilnya duluan. Biasanya selalu Lili yang menyapa. Dia tidak melihat Liant tadi, karena itu tidak menyapa.
"Sini aja, makan bareng."
Lili tidak bisa menolak, karena itu Liant.
"Boleh geser sedikit lagi gak?"
Liant menyetujui, sedikit bergeser, agar orang yang bersama Lili itu bisa duduk bersama mereka juga.
"Cieee Liant."
"Kiw, makan bareng ceweknya lagi, ada kemajuan udah berani ngajak."
Temen-temen Liant mulai menggodanya.
"Gak usah didengerin, anggep aja setan. Mereka emang suka gitu," Liant berbisik, agar temannya tidak dengar.
Lili mengangguk, sudah paham. Walau risih, tapi ia coba abaikan.
"Nanti sore kosong gak? Nonton yuk, di mall waktu itu aja."
"Maaf ya, gue hari ini gak bisa."
"Oke," Liant mengangguk paham. Tau sekali Lili ini sibuk. Tidak seperti Liant yang tidak punya kerjaan.
"Nanti gue kabarin kalo ada waktu."
"Sip."
Setelahnya Lili dan Liant berbicara sambil menyantap makan siang mereka. Bahkan orang yang sejak tadi bersama Lili seperti tidak dianggap. Fokus Lili jatuh sepenuhnya pada Liant yang hari ini membahas banyak hal, tidak seperti biasanya. Dan Lili suka dengan Liant yang seperti ini, bukan Liant yang biasanya hanya menanggapi pembicaraan.
"Lili, kita gak bisa lama-lama, kita harus ke ruang OSIS sebelum bel."
Gadis itu menoleh. "Sekarang?"
"Iya, sebelum bel."
Lili mengangguk, "Liant, kayaknya gue harus duluan."
Liant mengangguk singkat. Meski inginnya mengatakan tidak. Sekilas menatap pada orang yang sejak tadi bersama Lili. Ia biarkan Lili pergi, tanpa menatapnya. Sungguh, rasanya Liant jengkel sekali.
"Sadar gak sih, dari tadi kamu ngobrol sama dia terus. Aku apa? Cuma pajangan?"
Lili tertawa mendengar itu.
"Aku gak bercanda, Lili."
Gadis itu sadar setelah suara itu tedengar begitu serius. Ia menoleh pada orang yang berada di sampingnya. Langkahnya terhenti. "Maaf."
"Dia siapa sih? Kenapa kamu terus sama dia. Terus kenapa kesannya kamu sering banget ikutin apa maunya dia. Kamu sadar gak kalo kamu kayak gitu?"
Tidak, Lili tidak sadar. Tapi memang apa yang Liant inginkan, rasanya tidak enak jika ia tolak. Lagian, yang Liant minta bukan hal besar atau aneh, selama ia bisa melakukannya, kenapa tidak? Lagian, kenapa dia begitu menyadari? Apa selama ini ia memperhatikan apa yang Lili dan Liant lakukan?
"Maaf."
Tapi tidak ada jawaban.
"Liant cuma temen aku. Emang lumayan deket."
"Yaudahlah, udah gak ada waktu buat bahas ini."
Lili menatap punggung yang menjauhinya. Tidak lama, ia susul. Karena memang mereka masih memiliki urusan di ruang OSIS.
"Yah, ditinggal ayang ya, Liant. Sabar ya."
"Hahaha."
"Eh tapi, kok itu cewek sama ketos terus ya. Apa gak cemburu lo?"
KAMU SEDANG MEMBACA
BRILLIANT
Fanfiction"Uang terus otak lo, gak bisa pikirin hal lain?" "Kalo bukan uang, apa lagi yang gue dapet? Gue gak kayak lo, punya semuanya. Gue gak punya apa-apa selain uang sama semua fasilitas dari dia.. Kalo bukan uang, terus apa?!" "Terus gue apa? Ibu? Ayah?"...