Seperti biasa, ia menemukan Ashilla di depan pintu kelas seraya melambaikan tanganya. Sementara ruang kelas tampak sudah kosong, karena anak didik Ayana sudah pulang beberapa saat lalu, hanya tersisa Ayana yang tengah merapikan buku pelajaran, dan buku absen yang akan ia bawa ke ruang guru
Ah, sudah dua minggu Ayana mengajar di kelas ibtidaiyah, sesuai permintaan Ummah Aini.
Selama ini juga ia tinggal di asrama para ustadzah, namun keluarga ndalem sering memintanya untuk kesana sekedar makan bersama, dan berbincang banyak hal.
Ayana keluar dari pintu kelas, "Kamu sudah selesai mengajar Shill?" tanyanya saat keduanya berjalan berdampingan di koridor yang akan menuju ke ruang guru.
"Masih ada satu kelas nanti ba'da dzuhur Mbak,"
Ayana mengangguk.
"Bagaiamana Mbak rasanya mengajar di kelas Ibtidaiyah?" tanyanya.
"Yah rasanya lumayan lelah hehe. Harus ekstra sabar, mereka kan masih kecil-kecil sekali. Mereka lebih tertarik untuk bermain ketimbang belajar," paparnya.
Ashilla mengangguk setuju. "Lumayan melatih kesabaran nggih mbak?"
"Benar. Kamu tahu selama dua minggu Mbak mengajar, mbak juga belajar tentang cara mendidik anak yang benar," ucapnya. Jika di katakan lelah mengajar anak kecil, jawabannya lelah juga tapi rasa lelah itu hilang saat bagaimana anak-anak kecil itu antusias saat ia memberikan tebak-tebakan mengenai kosa kata bahasa arab yang mudah, dan mengatakan siapa yang bisa menajawab boleh pulang.
Caranya lumayan berhasil, bahkan anak yang awalnya malas belajar dan menghapalkan kosa kata menjadi semangat menghapal.
Ashilla mengangguk. "Benar Mbak. Mbak sebentar lagi Dzuhur, mau shalat di ndalem atau--"
"Musholla saja. Mbak malu kalau harus ke ndalem terus,"
Ashilla tampak merengut. "Ke ndalem saja nggih Mbak," rengeknya.
Ayana menghela napas, lalu mengangguk. "Tunggu nggih, mbak simpan buku ini dulu ke dalam," ucapnya begitu sampai di depan ruang guru. Namun, langkahnya terhenti saat tak sengaja berpapasan dengan Gus Zidan di koridor yang sepertinya juga baru selesai mengajar.
Gus Zidan tampak pergi begitu saja, seolah tidak melihat kehadirannya. 'Perasaan saya saja, atau memang Gus Zidan sengaja menghindar dari saya?'
Ia merasa bahwa selama ini Gus Zidan sengaja menghindar, tidak menampakkan diri di hadapannya. Dua minggu ini bahkan Gus Zidan tidak ikut bergabung makan di ndalem, setiap kali di panggil Ummah Aini, selalu saja ada banyak alasan untuk menolak makan bersama.
"Shill, kamu ke ndalem duluan saja nggih. Mbak mau mengambil ponsel barang Mbak yang tertinggal,"
"Shilla tunggu saja--"
"Duluan saja nggih."
Ashilla akhirnya mengangguk. Setelah memastikan Ashilla pergi, Ayana memutar langkah dan sedikit berlari menegejar sosok Gus Zidan yang untungnya belum menjauh.
"Gus!" panggilnya, namun Gus Zidan tetap berjalan seolah tidak mendengar suaranya.
"Gus Zidan!"
Akhirnya Gus Zidan menghentikan langkahnya dalam jarak yang cukup jauh. Tanpa Ayana ketahui Gus Zidan memejamkan mata, mencoba untuk mengatur perasaannya.
Sudah dua minggu ia mati-matian untuk menghindar. Termasuk tidak pulang ke ndalem ia tidur bersama Mas Ammar, sang abdi ndalem dan juga asisten sang Abah jika menghadiri acara dakwah, Mas Ammar ini yang akan menyopiri mobilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓
RomanceAyana Kaifiya Hanifah bercerai dengan suaminya di usia pernikahnnya yang ke-6 tahun, hanya karena belum kunjung di beri momongan. Azka suaminya berselingkuh dan menghamili wanita lain dengan dalih ingin bisa memiliki keturunan, dan parahnya lagi hal...