CDD-8 [EMPAT MATA]

16.6K 874 2
                                    

Tak terasa, waktu tiga bulan telah berakhir. Ini minggu terakhir Ayana mengajar, dan selama ini pula ia terus mendengar desas-desus perjodohan yang selalu membuat dirinya merasa semakin resah. Bukan hanya karena perjodohan Gus Zidan, tapi juga para santriwati mulai bergunjing membicarakannya yang begitu dekat dengan keluarga Gus Zidan.

Lamunannya mendadak buyar, saat sosok wanita cantik nan anggun mengenakan pakaian syar’i berdiri di hadapannya.

“Assalamualaikum,”

“Wa-waalaikumsallam,” Ayana benar-benar terpesona akan wanita yang berada di hadapannya.

Wanita cantik itu tersenyum. “Ngapunten. Saya Khilma Azqilla—“

“Ning Khilma!”

Tiba-tiba sosok Ashilla datang menyalami, dan memeluk wanita yang ia ketahui bernama Ning Khilma.

Ayana bergeming, ah, jadi ini Ning Khilma calon istri Gus Zidan?. Mereka benar-benar cocok, cantik dan juga tampan.

Ayana melihat tampilannya sendiri, ah ia merasa sangat insecure berhadapan dengan Ning Khilma yang mungkin bisa di gambarkan memiliki kecantikan seperti bidadari. Kulitnya yang seputih susu, wajahnya yang cantik seolah memancarkan sinar, dan bibir yang tersenyum itu benar-benar membuat semua orang akan terpikat, termasuk Gus Zidan mungkin.

Kedatangan Ning Khilma ke pondok pesantren milik Kyai Zaki tentu menghebohkan seisi pesantren, apalagi ada Ayana dan Ashilla di sisi sosok cantik Ning Khilma.

Ayana tersenyum canggung, entah sekali lagi ia merasa sangat insecure berdiri di antara Ashilla dan Ning Khilma yang di gadang-gadangkan akan menjadi kakak ipar dari Ashilla. Ia merasa kecil di antara dua Ning dari pesantren besar dan mencetak para santri yang terbaik.

"Ngapunten Ning, Shilla. Saya pamit dulu nggih,"

Ashilla langsung menoleh kepada Ayana. "Lho pamit kemana Mbak? Ndak ke ndalem Mbak?" tanyanya. Karena pasalnya ia kemari ingin menjemput Ayana seperti biasanya, namun siapa sangka ada Ning Khilma juga.

Ayana menggeleng. "Ndak Shill. Saya nanti saja ke ndalemnya agak sore, sekalian pamit,"

"Pamit?" Ning Khilma yang semula hanya memperhatikan interaksi Ashilla dengan Ayana yang tampak sangat akrab, akhirnya membuka suara.

"Pamit? Kok pamit Mbak?" Ashilla menjawab dengan cepat.

Ayana tersenyum. "Inggih Shill. Ini minggi terakhir saya mengajar menggantikan Ustadzah Arini," jelasnya.

Saya juga ndak mau terus memikirkan Gus Zidan yang jelas-jelas sudah memiliki calon istri.

Ya, Ayana juga tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini ia selalu memikirkan Gus Zidan. Ia juga menjadi gelisah mendengar rencana perjodohan Gus Zidan dan Ning Khilma, dan apalagi saat melihat bagaimana rupa Ning Khilma membuatnya merasa sangat kecil sekali, dengan visual sempurna Ning Khilma.

"Ning, Ashilla. Saya mohon pamit ya, saya harus membereskan barang-barang saya. Assalamualaikum," tidak ingin berlarut-larut dengan pikirannya, Ayana memilih untuk pamit dan pergi.

"Waalaikumsallam" Ning Khilma dan Ashilla menjawab bersamaan.

Sebelum kakinya melangkah, ia berpapasan dengan sosok Gus Zidan. Ia tersenyum, namun hatinya terasa tercubit. Gus Zidan sampai pulang ke ndalem hari ini karena ingin bertemu sang calon istri. Padahal sebelumnya Gus Zidan nyaris tidak pernah pulang ke ndalem.

Ayana melangkah dengan hati yang terasa sesak. Tentu saja Gus Zidan akan pulang untuk Ning Khilma, tidak mungkin untuk menemui dirinya. Ayana menoleh ke belakang, dimana sosok Gus Zidan berjalan berdampingan dengan Ning Khilma, dan Ashilla yang berada di belakangnya.

Ayana menggigit bibir dalamnya. Benar-benar sangat serasi. Ayana akhirnya tak bisa menahan perasaan sakitnya, bulir air mata akhirnya muncur bebas dari kedua kelopak matanya.

"Ah, Ayana. Mengapa tiba-tiba menangis seperti ini?" lirihnya. Ia mencoba menghapus air mata di wajahnya, namun ternyata buliran itu enggan berhenti mengalir.

Sakit sekali rasanya.

*****

Ummah Aini, Abah Yai Zaki, dan Gus Zidan terkejut saat Ashilla tiba-tiba mengatakan bahwa Ning Khilma datang ke pondok pesantren. Jauh-jauh dari Kudus ke Jogja sendirian, ini tentu hal yang membahagiakan bagi kedua orang tua Gus Zidan, namun tidak bagi Gus Zidan sendiri. Ummah, dan Abah pasti semakin setuju dengan perjodohan ini, meskipun ia belum memberi jawaban atas istikharahnya.

"Assalamualaikum Abah, Ummah," ucap Ning Khilma setelah sampai ke dalam ndalem.

Abah Yai Zaki, dan Ummah Aini menjawab salam itu bersamaan. Ning Khilma menyalami punggung tangan Ummah Aini, dan menangkupkan tangan di dada ketika bersalaman dengan Abah Yai Zaki. "Sendirian saja nduk?" tanya Abah Yai.

"Inggih Abah,"

"Lho Mas Zidan juga pulang toh?" tanya Ummah Aini begitu menyadari sosok sang putra.

"Sudah Ummah," jawabnya singkat.

Ummah Aini mengangguk, mempersilahkan Ashilla, Gus Zidan, dan Ning Khilma duduk di atas sofa ruang tamu. "Ning, soal pbahasan tentang perjodohan tempo hari, Zidan belum memberikan jawaban,"

Ning Khilma terkekeh pelan, "Owalah, kok tiba-tiba membicarakan perjodohan Ummah?"

"Saya kesini bukan ingin membahas itu. Saya hanya ingin silaturahmi, sekalian izin untuk berbicara berdua dengan Gus Zidan. Putra Ummah itu dari kemarin terus menolak telepon saya,"

Abah Yai Zaki mengangguk kepada sang istri. "Berbicara berdua ya?"

"Inggih Abah. Jangan khawatir, saya dan Gus Zidan sama-sama paham tentamg natasan. Kami akan berbivara di taman Abah. Sembari melihat kegiatan santiwati," paparnya. Ning Khilma ini sosok wanita yang tegas dan sangat menerapkan tentang aturan Agama di hidupnya.

"Shilla ndak boleh ikut?" Ashilla menuahut.

Ning Khilma tersenyum tipis, dan menggeleng. "Ngapunten Ning Ashilla ndak boleh,"

Ashilla menghela napas, "Ya sudah," gumamnya.

"Boleh-boleh saja Ning." Jawabnya, lalu ia melirik sang putra, "Bagaimana Mas? Sampeyan Mau?"

Gus Zidan mengangguk. "Iya Ummah. Saya rasa kami memang perlu bicara berdua,"

Abah Yai mengangguk. "Oke. Tapi tetap berjarak ya? Jangan sampai nanti ada fitnah tentang ini,"

Ning Khilma dan Gus Zidan mengangguk. "Inggih Abah."

******

"Kenapa melihat saya seperti itu?" tanya Ning Khilma setelah keduanya duduk di atas kursi taman dengan posisi Gus Zidan berada di ujung sebelah kiri, dan Ning Khilma di ujung sebelah kanan. Benar-benar sangat berjarak.

Gus Zidan mendengkus pelan, "Sampeyan kenapa tiba-tiba datang kesini?"

Ning Khilma tertawa. "Justru saya kesini karena mau membantu sampeyan, Gus.

Gus Zidan lagi-lagi mendengkus. "Membantu apa toh? Kedatangan sampeyan justru membuat banyak prasangka tentang desas-desus perjodohan kita,"

Ning Khilma tersenyum, kedua matanya menatap para santriwati yang berlalu lalang di tengah lapangan. "Gus, kenapa sampeyan ndak jujur kepada Ummah dan Abah, jika wajah yang sampeyan lihat selama istikharah, bukanlah saya."

Mendengar itu Gus Zidan terkejut. "Sampeyan tahu darimana?" Pasalnya ia hanya menceritakan ini kepada Ashilla adiknya. Apakah Ashilla menceritakan ini juga kepada Ning Khilma?

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang