Huek!! Huek!!
Sudah dua minggu ini, Ayana mengalami mual dan muntah yang di sebut morning sickness. Setelah shalat subuh Ayana pasti langsung berlari ke kamar mandi, menumpahkan semua cairan yang mendesak ingin di keluarkan.
Gus Zidan juga langsung sigap menyusul Ayana, dan memijat tengkuknya, menunggu Ayana selesai mengeluarkan semuanya.
Huek!! Huek!!
"Maass...."
"Iya sayang. Sudah?" Gus Zidan mengusap peluh yang mengalir di wajah sang istri. Wajah cantiknya menjadi sangat pucat, dan Gus Zidan tidak tega melihatnya.
Ayana mengangguk, Gus Zidan memutar kran air untuk membasuh wajah dan mulut Ayana. "Maas, capeek .... " keluhnya.
Gus Zidan meneteskan air matanya, seraya mengecup kening sang istri. Sungguh demi apa pun, ia ingin mengalihkan semua rasa sakit yang di rasakan oleh Ayana kepadanya.
Gus Zidan menggendong tubuh lemas Ayana dengan ala brydal style. Membaringkan Ayana ke atas tempat tidur, ia kemudian menggenggam tangan Ayana dan mengecupnya seraya menangis. "Sayang ... Maaf ya, sudah bikin kamu seperti ini. Mas ndak tega melihat kamu seperti ini terus,"
Ayana menatap wajah suaminya dengan sendu. "Ndak apa-apa Mas. Katanya Ummah sama Dokter Rachel juga wajar, ndak apa-apa Mas,"
"Tapi kamu kasian lho sayang, Mas ndak tega lihat kamu begini,"
Tok tok
Gus Zidan izin kepada Ayana untuk membuka pintu kamar, dan ketika pintunya terbuka sosok Ummah Aini dan Abah Yai datang.
Ummah Aini gegas menghampiri sang menantu yang berbaring dengan wajah pucat. "Minum air hangat dulu ya nduk," Ummah Aini membantu Ayana bersandar pada kepala ranjang, dengan menumpukkan bantal di di pinggang Ayana.
Abah Yai Muzaki dan Gus Zidan juga mendekat. Abah Yai Muzaki memberikan segelas air hangat kepada Ayana untuk di minum, sungguh melihat perjuangan Ayana selama satu minggu ini membuat Gus Zidan semakin merasa bersalah.
Abah Yai Muzaki mengusap punggung putranya. "Wes toh le. Ya mau bagaimana lagi, resikone ibu hamil ya seperti ini, sudah kodratnya mereka. Tugas sampeyan hanya perlu sabar, beri semangat ke Mbak Ayana, nggih?"
Gus Zidan mengangguk. Menatap sang istri yang masih sangat lemas.
"Sarapan dulu ya nduk? Biar nanti obatnya di minum lagi," Ummah Aini mencoba membujuk menantunya dengan penuh perhatian.
"Kita ke rumah sakit ya sayang, muka kamu pucat banget lho,"
Ayana hanya menggeleng pelan. Seiring dengan kepalanya yang terasa berat, "Ssshh pusing Ummah, kepala Ayana sakiit," keluhnya.
"Mas, bawa Mbak Ayana ke rumah sakit saja nggih. Ndak bisa ini, keadaannya udah parah banget." Usul Ummah Aini, yang di angguki oleh Abah Yai Muzaki.
"Ummah ikut ya Mas,"
Gus Zidan mengangguk, memasangkan hijab instant pada sang istri lalu menggendongnya ala bridal dan membawanya masuk ke mobil, menuju ke rumah sakit terdekat.
*****
Benar saja, Ayana di sarankan bedrest total selama tiga hari di rumah sakit. Ayana kekurangan cairan, dan juga tensi darahnya yang rendah. Lagi-lagi Gus Zidan merasa sangat bersalah atas kondisi istrinya.
"Maaass..."
"Iya sayang. Kenapa? Sayang butuh apa?" Gus Zidan berucap penuh khawatir, bahkan matanya terlihat sembab karena terus menangis melihat keadaan sang istri.
"Mau peluk Mas,"
Gus Zidan tersenyum, ia yang semula duduk di samping brankar Ayana, kini bangkit dan ikut berbaring di atas ranjang seraya memeluk Ayana, tak terasa air matanya kembali menetes. "Maafin Mas ya. Mas ndak bisa apa-apa selain menenangkan kamu. Maaf sayang .... "
Ayana mencari kenyamanan pada pelukan sang suami. Ia juga turut menangis, selama ini ia tahu betul bagaimana sabarnya Gus Zidan menghadapi mual muntahnya setiap pagi, menghadapi mood nya yang berubah-ubah, bahkan menuruti keinginannya untuk tidak pergi kerja. Karena semenjak hamil dirinya selalu ingin dekat-dekat dengan suaminya.
Gus Zidan tidak pernah sekali pun mengeluarkan kata-kata kasar, atau marah kepadanya karena selalu di repotkan. Dengan begitu saja ia sudah sangat bersyukur di takdirkan dengan bersama dengan pria sebaik Gus Zidan.
Ayana membiarkan Gus Zidan menangis seraya memeluknya.
Cklek!
"Assalamu--" Gus Malik, dan Ning Khilma saling tatap, ketika membuka pintu kamar rawat Ayana.
Mereka melihat Gus Zidan yang tengah menangis sambil memeluk Ayana di atas ranjang pasien. Pasutri itu memilih melangkah mundur, menutup pintu ruangan dengan pelan.
"Tuh, harusnya kita juga seperti itu sayang. Mesra-mesraan kaya Ning Ayana, yang ndak mau di tinggal sama Gus Zidan,"
Ning Khilma menatap sang suami dengan tajam. "Maksudnya, kamu nyindir aku Mas? Iya?"
Gus Malik berdeham, memalingkan wajahnya ke arah lain. "Memang begitu kan kenyataannya?" ucapnya pelan, namun masih bisa di dengar oleh Ning Khilma.
"Aku dengar lho Mas!" seru Ning Khilma. "Kamu pikir, aku seperti ini karena kemauanku? Ini kemauan--anak--kamu lho Mas-Hikss..."
Gus Malik mengusap wajahnya, tatkala mendengar isakan dari istrinya. Ya, ia harus kuat-kuat sabar menghadapi mood Ning Khilma, yang terkadang menyiksa dirinya.
"Sayang. Iya, iya, Mas minta maaf. Mas ndak maksud--"
"Tapi Mas jahat, kenapa nyindir-nyindir aku kaya gitu? Mas udah ndak sayang sama aku? Gitu? Hiks...hiks..."
Gus Malik mengembuskan napas dengan berat. Ya Allah, kuatkan rasa sabar hamba.
"Sayang. Mas sayang banget sama kamu, sini Mas peluk,"
Ning Khilma berhambur memeluk Gus Malik. "Maaf ya sayang. Iya Mas yang salah. Mas yang ndak mengerti perasaan kamu,"
Ning Khilma terus menangis di pelukan Gus Malik. Mereka melupakan jika kedatangan mereka kemari adalah untuk menjenguk Ayana yang di rawat, karena Gus Zidan sempat mengabari Gus Malik.
"Sudah nggih. Di kiranya Mas ngapa-ngapain kamu lho sayang,"
"Mas, kan emang ngapa-ngapain aku,"
Gus Malik mengecup pucuk kepala sang istri. Hadeuuh, ibu hamil ini benar-benar menguji kesabarannya. Untung sayang!
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓
RomanceAyana Kaifiya Hanifah bercerai dengan suaminya di usia pernikahnnya yang ke-6 tahun, hanya karena belum kunjung di beri momongan. Azka suaminya berselingkuh dan menghamili wanita lain dengan dalih ingin bisa memiliki keturunan, dan parahnya lagi hal...