CDD-18 [TERBANG MELAYANG]

18.5K 878 12
                                    

Setelah pelukan penuh haru itu, para perias kembali membenarkan riasan di wajah Ayana. Sedang Gus Zidan duduk di atas ranjang memperhatikan Ayana yang tengah di rias ulang. Ia tersenyum tipis, tidak bisa menyembunyikan rasa bahagia yang seakan siap meledak dari dalam dadanya.

Teringat beberapa bulan yang lalu ia tampak sangat uring-uringan karena kedatangan Ayana ke pondok, melihatnya setiap hari di ndalem, dan perasaannya kembali goyah karena itu. Sampai ia memilih tidur di pondok putra, dan makan dengan santri putra untuk menghindari Ayana.

Ah, mengingat itu rasanya ia ingin tertawa, menertawakan kebodohannya dulu.

"Gus. Gus."

"Gus Zidan."

Gus Zidan mengerjapkan matanya saat sosok Ayana berdiri di hadapannya dengan tubuh yang sedikit membungkuk, wajah cantik dengan riasan natural itu tampak berada di hadapannya.

"Ah, inggih ada apa?" tanyanya sedikit gelagapan, sementara para tim perias tengah bersorak kecil menggoda pasangan yang baru halal itu.

Wajah Ayana sudah memerah karena godaan itu, ia lantas menegakkan tubuhnya. "Ada apa, hm?" tanya Gus Zidan yang terkekeh pelan melihat wajah Ayana yang malu-malu.

"Saya boleh mengenakan cadar selama kita di pelaminan?" tanyanya, dengan wajah yang di palingkan ke arah lain, dan menegakkan tubuhnya kembali.

Gus Zidan mengulum senyum, "Boleh. Saya juga ndak rela memperlihatkan kecantikan istri saya ini kepada orang lain,"

"Uugghh so sweeet," lagi-lagi tim perias kembali menggoda pasangan baru itu.

Gus Zidan tertawa, ia senang menimmati wajah cantik istrinya yang sudah memerah bak kepiting rebus. "Mau saya pakaikan ndak?" Godanya. Ah, sepertinya menggoda Ayana akan menjadi hobinya mulai sekarang.

Ayana menggeleng tegas, ia berlalu dari hadapan Gus Zidan dan menghampiri tim perias meminta mereka memakaikan cadar pada wajahnya. Sedangkan Gus Zidan terkekeh pelan di tempatnya, ia tidak menyangka jika ia akan sampai di titik ini, dimana ia memiliki Ayana untuk selamanya dalam  ikatan halal.

Gus Zidan bangkit dari posisinya saat Ayana sudah selesai mengenakan cadar. Mereka berdiri berdampingan, dengan Gus Zidan yang memegang erat tangan Ayana, menautkan jemari mereka dan berjalan bersama menuju halaman rumah Budhe Shafira yang telah di hias sedemikian rupa oleh orang wedding organizer.

Kedatangan kedua mempelai itu di sambut meriah oleh para tamu. Sebagian merasa kecewa menyayangkan tidak bisa melihat wajah sang pengantin yang telah di rias. Sedang sebagian lagi paham dan mengerti jika kedua mempelai ingin menjaga kecantikan agar tidak menjadi dosa karena memandang yang bukan mubrimnya di hari istimewa ini.

MC acara langsung menyambut kedatangan mereka, lalu mengarahkan keduanya untuk duduk di sebuah kursi dan meja berhadapan dengan pak penghulu untuk penandatanganan berkas, di langsungkan dengan pembacaan janji sighat taklik. Lalu kemudian kedua mempelai itu naik ke atas pelaminan, melakukan prosesi sungkeman kepada kedua orang tua yang berakhir sangat haru.

Setelah semua prosesi itu selesai di lakukan, kini kedua mempelai duduk di pelaminan dengan Ashilla yang tentunya selalu menempel kepada sang kakak ipar.

"Dek, kamu apa ndak mau icip-icip makanan di pernikahan Mas?" Gus Zidan merasa sebal karena Ashilla terus menempel kepada istrinya. Bahkan kini ia tersingkirkan, duduk di ujung kursi sedangkan Ashilla justru duduk di samping Ayana. Adiknya ini benar-benar!!

"Kenapa sih? Mas dari tadi menyuruh Shilla makan terus? Shilla sudah kenyang tahu!"

Gus Zidan memijat pelipisnya. Ingin rasanya ia menarik tubuh sang adik dan memaksanya turun, namun tentu saja ia tidak akan melakukannya. Ayolah, ini adalah hari spesialnya, hari bahagianya masa Ashilla tidak peka?

"Owalah, penganten kok mukanya kusut begitu?" Itu suara Gus Malik yang naik ke pelaminan bersama Ning Khilma.

Gus Zidan mendelik, "Ndak usah ngajak bercanda Lik. Sampeyan mau saya telan hidup-hidup?"

Gus Malik tertawa, namun kemudian ia meringis saat sang istri mencubit pinggangnya. "Aduuh sayang," ringisnya.

Ning Khilma tidak menanggapi, ia langsung memberikan sebuah kado kepada Gus Zidan yang masih terlihat sebal. "Sabar Gus. Sampeyan harus bersyukur, banyak lho yang ingin dekat dengan ipar. Karena memiliki ipar yang baik itu sangat jarang,"

Gus Zidan menerima kadk dari Ning Khilma. "Ya tapi ndak seperti Ashilla juga dong Ning!"

Ayana meringis mendengar ucapan Gus Zidan. Ia menatap Ashilla dengan lembut, "Shill. Maaf nggih, rasanya saya ndak enak sama Gus Zidan dan para tamu, jika kita terus seperti ini. Bagaimana pun ini hari yang sakral untuk saya dan Gus Zidan," Ayana mencoba memberi pemahaman kepada Ashilla, dan sebisa mungkin untuk tidak menyakiti Ashilla dengan ucapannya.

Ashilla terdiam beberapa saat, lalu kemudian tertawa. Astaga, ia juga sangat mengerti. Ia sengaja berlaku seperti ini untuk membuat kakaknya itu kesal.

"Astagfirullah. Kamu sengaja?" bisik Ayana.

Ashilla mengangguk, matanya menyipit karena tertawa seraya mengusap perutnya. Ayana menggelengkan kepala, Ashilla ini memang ada-ada saja.

Setelah tawanya mereda Ashilla berdiri menghampiri ning Khilma dan memeluknya. Kemudian menatap sang kakak, "Monggo Mas Zidanku sayang, silahkan istrinya di kekepi biar ndak bisa lepas," ucapnya yang mengundang tawa dari Gus Malik, dan Ning Khilma.

Gus Zidan mendelik kesal. "Awas ya kamu. Kalau minta jajan Mas ndak mau turuti," ancamnya.

Ashilla malah tertawa. Lalu menggandeng Ning Khilma dan mulai menikmati hidangan yang ada, di susul oleh Gus Malik.

Gus Zidan sendiri meraup wajahnya dan mengucap istigfar. Ia harus sabar menghadapi kerandoman Ashilla yang terkadang membuatnya nyaris kehilangan kesabarannya. Kesabarannya yang luas mendadak menjadi setipis kertas di bagi dua, jika berhadapan dengan sang adik.

Gus Zidan menatap Atana, yang juga tengah menatap ke arahnya. Ayana tersenyum di balik cadar hingga kedua matanya terlihat menyipit. Gus Zidan terkekeh pelan, berdiri dan beepindah duduk di samping istrinya seraya menggenggam erat tangan Ayana yang terlihat mungil sekali jika berada du genggamannya.

Sesekali Guz Zidan mengecup punggung tangan Ayana yang membuat Ayana selama seharian ini terus tersipu karena perlakuan lembut yang di berikan oleh sang suami.

Benar, ia beruntung di cintai oleh seorang Gus Zidan Aksa Narendra.

"Sayangku, aku mencintaimu," ucap Gus Zidan seraya mengecup punggung tangan Ayana, dan tatapan mata yang tak lepas dari wajah Ayana yang tertutup cadar.

Ugh, Gus Zidan lagi-lagi membuat perasaannya terbang melayang tinggi.

Saya juga mencintai kamu, Gus Zidan suamiku. Batinnya berbicara.

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang