CDD-19 [MAS ZIDAN]

19K 899 9
                                    

"Assalamualaikum warahmatullah ...."

"Assalamualaikum warahmatullah ...."

Gus Zidan dan Ayana baru saja menyelesaikan shalat isya. Kemudian Gus Zidan memimpin doa, selesai membaca doa Ayana meraih punggung tangan sang suami dan mengecupnya.

Gus Zidan menangkup wajah Ayana, dan memberikan kecupan pada kening sang istri.

"Owalah, gini toh rasanya shalat sama istri,"

Ayana menunduk, menyembunyikan rona merah di wajahnya karena guyonan dari pria yang sudah menjadi suaminya ini. "Piye rasane Gus? Asin, opo gurih?" Ayana membalas guyonan dari sang suami untuk menyembunyikan rasa gugupnya.

Gus Zidan terkekeh, "Ya ndak tahu, kan belum di cicipi," Gus Zidan lantas tertawa ketika mendapati pukulan di dadanya dari sang istri. "Lho iya kan. Kita kan belum ngapa-ngapain,"

"Gus, opo sih. Kok jadi menyebalkan begini," keluh Ayana. Ia hendak beranjak menjauh dari sang suami yang terus menggodanya. Namun sayangnya, sebelum beranjak Gus Zidan sudah menahan tangannya terlebih dahulu.

"Mau kemana toh? Memangnya mau langsung tidur? Masih siang lho iki," guyonnya.

"Gus, wis toh jangan godain saya terus,"

"Ya makanya sini dulu duduk, apa ndak mau istirahat dulu sebentar? Ndak mau cobain bobok di pangkuan suami?"

Ayana menghela napas, Gus Zidan ini apa tidak tahu kalau sudah membuat jantungnya tidak aman begini?

"Sini dulu, ayo baringan disini," ucapnya seraya menepuk pahanya. "Sini, saya tahu kamu lelah setelah seharian resepsi," tambahnya.

Ayana menggeleng pelan, Gus Zidn malah merangkul bahunya, "Ayo, apa mau di paksa?"

Dengan wajah yang memerah malu, Ayana akhirnya menjatuhkan kepalanya di atas pangkuan sang suami. Gus Zidan yang melihat itu menjadi sangat gemas, ingin rasanya ia mengecup pipi sang istri yang tengah merona.

"Enak kan bobok di pangkuan suami?"

Astaga, suaminya ini masih saja senang menggodanya. Wajahnya bahkan sudah seperti kepiting rebus sekarang.

Gus Zidan terlalu pandai menggoda, hingga hatinya terus berdebar dan mendadak penuh jutaan kupu-kupu beterbangan di dalamnya.

Telapak tangan besarnya membelai pucuk kepala Ayana yang masih berbalut mukena berwarna putih polos, "Seindah ini ternyata rasanya menikah," gumamnya.

"Saya akhirnya bisa berada di tahap ini, dengan orang yang setiap malam saya pinta melalui doa," imbuhnya.

Ayana menggerakkan tubuhnya yang semula menyamping di pangkuan Gus Zidan, menjadi lurus menatap tepat kepada wajah Gus Zidan dengan manik mata yang tenang dan meneduhkan. Apakah ia tidak salah dengar? Gus Zidan setiap malan memintanya melalui doa? Apakah benar?

Gus Zidan tersenyum, membelai wajah Ayana dengan lembut. "Kenapa hm? Kamu ndak nyaman? Mau duduk saja?"

Ayana menggeleng. "Gus,"

"Inggih sayang ...."

Blush!

Pipinya kembali merona mendengar Gus Zidan memanggilnya demgan 'sayang'. "Gus. Sudah ih, dari tadi bercanda terus," Ayana memasang wajah pura-pura sebal, yang membuat Gus Zidan semakin gemas saja.

"Lho siapa memangnya yang bercanda? Lha wong bener, kamu itu kesayangan saya,"

"Gus iiih!"

Gus Zidan terbahak. "Yowes. Janji ndak bakal bercanda lagi. Tapi ada syaratnya,"

Ayana merengut sebal. "Kenapa pakai syarat segala toh Gus?"

Gus Zidan menarik pipi Ayana dengan gemas. "Gus sakit!" keluh Ayana.

"Jangan panggil Gus nggih, panggil Mas saja. Ah, atau panggil sayang juga boleh," kekehnya.

Ya ampuun Gus Zidan ini benar-benar. "Apa toh Gus,"

"Eiits. Ndak boleh panggil Gus sayang. Mas. Panggil Mas Zidan nggih cintaku,"

Ayana menutup kedua wajahnya yang sudah sangat memerah. Gus Zidan semakin tertawa, "Boleh cium kamu ndak sih? Mas gemes banget soalnya,"

"Ndak mau!" seru Ayana seraya bangkit dari posisinya, sebisa mungkin ia ingin menjauh dari suaminya yang bisa membuat jantungnya meledak.

Gus Zidan terkekeh, merapikan sajadah yang masih tergelar dengan cepat lalu menyusul sang istri dan memeluknya dari belakang.

"Akh!" Pekik Ayana.

"Jangan berisik. Nanti dikiranya kita lagi ngapa-ngaipain lho,"

"Ya memang kan?"

Gus Zidan mengeratkan pelukannya pada pinggang ramping sang istri, meletakkan dagunya pada bahu Ayana yang masih mengenakan mukena. "Coba belajar panggil Mas,"

"Ndak mau ah,"

Gus Zidan membalikkan tubuh Ayana agar menghadapnya, sungguh begitu kedua mata mereka bertemu jantung Ayana benar-benar sudah tidak bisa di kendalikan lagi, debarannya semakin kacau. "Lha kenapa? Ayo belajar sayang, biar nanti sayangku bisa terbiasa," bujuknya dengan suara yang sangat lembut.

"Mas Zidan .... " cicitnya.

Senyum di wajahnya mengembang, "Opo? Mas ndak dengar tadi sayangku bilang apa,"

Ayana memukul bahu suaminya. "Ndak ada siaran ulang," decaknya sebal.

Gus Zidan tertawa, lantas mendudukkan dirinya di sisi ranjang tanpa melepas kedua tangannya dari pinggang ramping Ayana yang berdiri di hadapannya.

"Gus lepas dulu, saya mau buka mukena,"

"Mas sayang. Panggil Mas,"

Ayana menghela napas, "Mas Zidan. Lepas dulu nggih,"

Namun Gus Zidan menggelengkan kepalanya, dengan satu sentakkan kini tubuh Ayana berada di pangkuannya, Ayana refleks mengalungkan kedua tangannya pada leher Gus Zidan. "Mas .... " gumamnya.

Gus Zidan tersenyum, "Inggih sayangku. Kenapa?"

Ayana menggeleng, dengan jarak yang setipis tisu ini membuat dirinya benar-benar gugup setengah mati.

"Mau minta lepas?" tanyanya.

Ayana mengangguk.

Gus Zidan menurunkan tubuh Ayana dari pangkuannya, "Mau membuka mukena?"

Ayana mengangguk.

"Sini duduk samping Mas," ucapnya seraya menepuk sisi ranjang di sampingnya.

"Mas ... "

"Inggih sayang. Ayo sini duduk," ia menyentuh pergelangan Ayana dengan lembut, Ayana akhirnya menurut apa kata suaminya.

Kini keduanya duduk saling berhadapan, dengan gerakan lembut Gus Zidan membuka bagian atas mukena Ayana, Gus Zidan terpana dan tak berkedip selama beberapa saat. Ayana tanpa balutan kerudung terlihat begitu cantik, rambut hitam legamnya terikat rapi. Benar-benar sangat cantik.

Ayana yang di tatap begitu lekat mengulum bibir merahnya, ia benar-benar sangat gugup dan tubuhnya terasa hampir meleleh, melebur dalam tatapan mata Gus Zidan yang menatapnya tanpa berkedip.

Gus Zidan berdeham, mengusap tengkuknya dan memalingkan wajahnya ke arah lain. Ia tidak sanggup menatap kecantikan Ayana lama-lama, takut dirinya tidak bisa mengendalikan hasratnya dan malah menyakiti Ayana.

Demi apa pun, ia pria normal. Berdua dengan wanita yang sudah halal untuknya tentu saja membuatnya berhasrat, namun sebisa mungkin ia akan menahannya. Ia takut menyakiti Ayana, dan tidak akan melakukannya tanpa izin dari Ayana. Ayana terlalu berharga untuknya, dan ia sebisa mungkin akan menjaganya dengan baik.

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang