Setelah berpamitan dengan Budhe Shafira dan Pakdhe Rasyid, mobil yang di kendarai Gus Zidan hampir tiba di sebuah pemakaman tempat peristirahatan terakhir kedua orang tua Ayana, mobil yang mereka tumpangi berhenti di pinggir jalan dekat penjual bunga dan air mawar. Ayana dan Gus Zidan turun dan membeli tiga kantong bunga dan dua botol air mawar, sebelum kembali melajukan mobilnya dan parkir di tempat yang lumayan dekat dengan area pemakaman.
Ayana dan Gus Zidan sama-sama turun dari mobil. Hati Ayana terasa sesak setiap kali akan mengunjungi makam kedua orang tuanya, semua kenangan indah tentang mereka selalu berputar silih berganti di kepalanya, kembali mendatangkan rasa sedih yang mendalam pada dirinya.
Ayana menoleh saat merasakan ada tangan yang menggenggam jemarinya, ia tersenyum bersamaan dengan Gus Zidan yang juga tersenyum ke arahnya. Ah, sekarang ia datang bersama suaminya ke hadapan mendiang ibu dan ayahnya.
Ayah, ibu. Ayana sudah menemukan cinta sejati Ayana, pria yang datang bersama saya ini adalah orangnya. Muhamad Zidan Aksa Narendra namanya bu, doakan agar kami selalu bersama sampai akhir hayat.
"Ayo masuk. Makamnya Ibu sama Ayah di sebelah mana?" tanya Gus Zidan dengan kedua mata yang tak lepas dari wajah cantik Ayana.
Ayana menunduk, menatap kedua tangan mereka yang saling bertaut. Ia ingat dengan perbincangan mereka semalam, tentang Gus Zidan yang berkata jujur telah menyimpan perasaan kepadanya sejak lama.
Gus Zidan sampai terisak-isak mengatakan semuanya. "Seandainya saat itu kamu menolak lamaran saya. Saya sudah berencana pergi dari indonesia, agar tidak bertemu kamu lagi."
Kata-kata itu kembali membuat perasaannya di liputi rasa haru, jika seandainya ia menolak lamaran Gus Zidan, ia akan menyesal karena mungkin pria seperti Gus Zidan tidak akan pernah ada lagi di bagian dunia mana pun. Cintanya Gus Zidan bukan hanya rayuan semata, tapi cinta yang benar-benar sejati dan hanya untuk satu nama sejak dulu, yaitu dirinya.
Ayana Khaifiya Hanifah, namanya seolah tidak pernah pudar dalam lubuk hati Gus Zidan.
"Sayang? Kenapa melamun, hm?" tanyanya.
Ayana menggelengkan kepalanya, kembali menatap wajah Gus Zidan yang terlihat khawatir. "Mas,"
"Dalem sayangku. Kenapa hm? Kamu haus?"
"Saya cinta sama Mas Zidan,"
Ucapan Ayana membuat Gus Zidan mematung beberapa detik, sebelum akhirnya Gus Zidan mendekap Ayana ke dalam pelukannya dan memberikan kecupan cukup lama pada kepala Ayana yang berbalut kerudung cream dengan motif bunga kecil-kecil. "Mas tahu. Sudah ya, ayo kita temui Ibu sama Ayah, sebelum hujannya turun," ucapnya setelah melepaskan pelukannya dari Ayana.
Ayana mengangguk, membiarkan Gus Zidan kembali menggenggam tangannya, berjalan bersama menuju tempat tujuan mereka datang kesini. Keduanya berjalan cukup agak jauh dari pintu masuk, sampai akhirnya langkah keduanya berhenti di depan batu nisan bertuliskan nama "Ayumi Handayani," dan "Ahmad Yusuf,".
Keduanya duduk di sisi kedua pusara itu dan menaburkan bunga, serta air mawar di atas tanah kuburan, setelah itu mereka membaca do'a yang di pimpin oleh Gus Zidan sendiri, selama mendoakan mendiang kedua orang tuanya Ayana tak kuasa menahan tangisnya, sampai Gus Zidan merangkulnya, dan membiarkan Ayana menumpahkan tangis di bahunya.
Setelah selesai berdoa, dan tangis Ayana yang mulai mereda Gus Zidan menyeka wajah sang istri yang basah oleh air mata. "Sudah nggih. Ibu, dan Ayah juga akan bersedih melihatmu menangis seperti ini," bujuknya.
"Ibu, Ayah," seraya menggenggam tangan sang istri, ia menatap lekat pada kedua batu nisan di sampingnya. "Saya Muhamamad Zidan Aksa Narendra, suami dari putri kalian yang sangat cantik ini," kini tatapan matanya beralih menatap Ayana yang masih terlihat sendu.
"Terima kasih sudah melahirkan, dan membesarkan wanita cantik ini. Ibu, Ayah, saya tidak akan berjanji untuk terus mendampingi Ayana, karena bukan hanya janji yang Ayana butuhkan. Melainkan bukti, dan saya akan terus mendampingi Ayana sampai takdir memisahkan,"
Kedua mata Ayana memanas, dan kembali mengeluarkan air mata. Entah sudah keberapa kalinya setelah akad nikah terucap, Gus Zidan selalu membuat dirinya merasa sangat beruntung, dan tersanjung.
"Bu, Yah, jangan khawatir. Saya akan menjaga Ayana, sampai titik darah penghabisan. Saya mencintai Ayana melebihi saya mencintai diri saya sendiri, saya tidak akan pernah meninggalkan Ayana dalam keadaan apa pun,"
Ayana tak kuasa menahan tangisnya, sekali lagi ia merasa sangat di sanjung oleh Gus Zidan.
"Ayah, Ibu. Kami berdua pamit nggih," pungkasnya. Setelahnya ia berdiri seraya memapah tubuh Ayana.
"Kenapa hari ini cengeng sekali sih?" Godanya, alih-alih membuat Ayana berhenti menangis, istrinya malah menangis semakin kencang.
Gus Zidan panik, "Eh, sayang. Sudah nggih jangan menangis, kita pulang ya? Nanti di jalan kamu mau beli apa? Cimol? Seblak? Es boba? ah, atau mau beli telur gulung?"
Jangan tanyakan mengapa Gus Zidan hafal jenis jajanan pinggir jalan seperti itu, karena Ashilla. Setiap kali ia bepergian pasti ada saja jajanan yang di pinta, awal-awal ia sampai kebingungan dengan nama jajanan yang di sebutkan Ashilla, karena ia saja baru dengar. Sekarang, ia bahkan sudah hafal semua jajanan itu di luar kepala.
"Bilang sama Mas, kamu mau apa sayang? Beli mendoan? Cireng?"
Ayana menggeleng, kini bukan lagi suara tangisan yang terdengar, melainkan suara tawa dari sang istri. Mendengar itu, perasaannya menjadi menghangat.
Gus Zidan mengecup kening Ayana. Lalu tiba-tiba saja gerimis turun, di susul dengan rintikan hujan yang mulai deras, keduanya langsung panik, Gus Zidan bergegas menggenggam tangan Ayana dan mengajaknya berlari di bawah hujan untuk sampai ke mobil mereka.
Keduanya tertawa seraya berlari di bawah air hujan yang menjadi saksi cinta dan kebahagiaan dua insan yang saling mencintai dalam ikatan halal pernikahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓
RomanceAyana Kaifiya Hanifah bercerai dengan suaminya di usia pernikahnnya yang ke-6 tahun, hanya karena belum kunjung di beri momongan. Azka suaminya berselingkuh dan menghamili wanita lain dengan dalih ingin bisa memiliki keturunan, dan parahnya lagi hal...