Waktu yang di tunggu dengan sangat tidak sabar oleh Gus Zidan mau pun Ayana, akhirnya tiba. Mobil pajero sport milik Abah Yai Zaki sudah terparkir setengah jam lalu di halaman rumah Pakdhe Rasyid. Sementara sang pemilik kendaraan yang membawa sang putra sudah berada di dalam ruang tamu, tengah berbincang dengan sang pemilik rumah.
Ya, setelah perdebatan yang cukup alot akhirnya Abah Yai Zaki sepakat pergi ke rumah Pakdhe Rasyid bersama dengan Gus Zidan selaku pria yang akan meminta restu sekiranya nanti Ayana memberikan jawaban yang sesuai dengan harapan mereka.
"Bagaimana Gus? Apa njenengan gugup?" goda Pakdhe Rasyid kepada Gus Zidan yang tampak sangat canggung dan tentu saja--sangat gugup.
Abah Yai Muzaki terkekeh, "Tenang Mas. Kalau sudah jodoh ya ndak bakal kemana. Benarkan, Pak Rasyid?"
"Inggih, Abah Yai."
Gus Zidan tersenyum tipis. Ia benar-benar sangat gugup, bahkan saat ia pertama kali mengisi ceramah menggantikan Abahnya dulu, ia tidak segugup ini. Ia menunggu kedatangan Ayana dengan cemas, hatinya terus berkecamuk, ia mengaku akan berlapang dada, namun jika Ayana menolak ia tidak tahu harus bagaimana lagi.
Cintanya kepada Ayana pernah kandas dulu, ia juga berusaha melupakan. Dan sekarang cintanya kembali bersemi saat Ayana sudah sendiri, namun apakah kali ini ia akan merasakan sakit untuk yang kedua kalinya?
Apakah nanti ia sanggup?
"Gus, tenang nggih. Berdoa saja semoga jawaban Ayana nanti sesuai ekspektasi njenengan,"
"Inggih pak,"
Ia memasukkan sebelah tangannya pada saku celana yang di kenakannya, ada sesuatu yang tersimpan di dalam sana, dimana hanya dirinya saja yang mengetahui.
Saya harap, saya bisa memberikan benda ini kepada kamu nanti.
Akhirnya setelah setengah jam berlalu, sosok yang di tunggu itu muncul dari dalam kamar bersama Budhe Shafira.
Gus Zidan semakin berdebar semakin tidak sabar untuk menanti jawaban yang akan di berikan oleh wanita pujaannya.
“Nah, karena yang bersangkutan juga sudah hadir. Bagaimana kalau tanyakan saja kepada Ayana,” ucap Pakdhe Rasyid.
Gus Zidan dan Abah Yai mengangguk. Ayana duduk di tengah-tengah Budhe Shafira dan Pakdhe Rasyid. "Ngapunten sebelumnya Gus, Abah Yai. Ada yang ingin saya matakan sebelum menjawab lamaran dari Gus Zidan. Apa Gus dan Abah Yai ndak keberatan?" tanyanya.
Abah Yai Muzaki tersenyum lembut, "Ndak keberatan sama sekali Mbak. Bagaimana pun ini menyangkut kelangsungan hidup Mbak, dan juga Zidan. Monggo mbak, katakan apa pun yang ingin sampeyan katakan," Gus Zidan mengangguk, setuju dengan apa yang di katakan Ayahnya.
"Mohon maaf sebelumnya jika saya sedikit lama mempertimbangkan. Bagaimana pun saua sudah pernah gagal dalam pernikahan. Sudah pernah terbuai dalam janji manis pria yang akhirnya malah menyakiti saya sendiri,"
Semua orang dalam ruangan itu terdiam. Mengerti segala situasi apa yang Ayana bicarakan dan rasakan selama ini. Budhe Shafira mengusap punggung tangan Ayana, ia adalah orang yang tahu betapa menderitanya Ayana di pernikahan sebelumnya.
"Gus, apa jaminannya jika njenengan ndak akan menyakiti saya dalan bentuk apa pun. Entah itu ucapan, atau perbuatan,"
Gus Zidan menghela napas, semakin mengeratkan genggaman tangannya pada benda yang ia genggam di saku cepala yang di kenakannya. "Sampeyan tahu betul jika saya tidak akan pernah menyakiti sampeyan Mbak," Gus Zidan kembali menghela napas, ia sudah memantapkan diri untuk meminang Ayana sejak lama, meski pun jawaban dari Ayana belum tentu memuaskannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓
Roman d'amourAyana Kaifiya Hanifah bercerai dengan suaminya di usia pernikahnnya yang ke-6 tahun, hanya karena belum kunjung di beri momongan. Azka suaminya berselingkuh dan menghamili wanita lain dengan dalih ingin bisa memiliki keturunan, dan parahnya lagi hal...