Hari demi hari berlalu, kini masa-masa mual, dan muntah yang setiap pagi Ayana rasakan sudah tidak ada lagi. Usia kandungan Ayana tak terasa sudah menginjak usia empat bulan. Memasuki trisemester kedua Ayana merasakan banyak perubahan pada dirinya, mulai dari berat badan yang naik beberapa kilogram, porsi makannya yang bertambah, dan sering mengantuk.
Tentang sifat, Ayana masih sangat manja dengan Gus Zidan, namun tidak semanja saat mengalami trisemester pertama. Ia memperbolehkan Gus Zidan pergi bekerja, ya walau pun suaminya itu kekeh lebih banyak ingin di rumah, dan pergi ke kantor satu minggu sekali.
Pagi ini keluarga Ndalem sedang sibuk, karena akan ada tamu dari sahabat Abah Yai Muzaki yang kebetulan tengah berada di jogja, jadi mereka memutuskan mampir ke pondok pesantren milik Abah Yai Muzaki.
"Nduk, ngapain toh di dapur? Duduk saja di ruang tamu, ya. Ndak boleh capek-capek lho," Ummah Aini menegur Ayana dengan halus.
Ayana menghela napas. Capek apanya? Ia hanya membantu mbak santri mengaduk gudeg nangka saja. "Ndak capek kok Ummah. Ayana kan cuma bantu mengaduk gudeg nangka saja,"
Ummah Aini mengambil spatula berukuran cukup besar dari tangan menantunya. "Wes Mbak Ayana duduk manis saja. Biar urusan masak itu Ummah dan Mbak santri saja yang mengerjakan. Nurut Ummah nggih?"
Ayana tidak dapat membantah ucapan Ummah Aini. Akhirnya mengangguk, dan berpamitan untuk duduk di sofa ruang tamu saja. Ia tahu Ummah Aini sangat menyayanginya, apalagi selama hamil ia sama sekali tidak di perbolehkan mengerjakan apa pun bentuk pekerjaan rumah. Tapi, ia juga tidak tenang hanya duduk saja seperti ini, padahal semua orang sedang sangat sibuk.
Ia menunduk seraya memilin jemarinya, sampai ia merasakan ada tangan yang menggenggam tangannya. Ia mengangkat wajah, menatap wajah tampan sang suami yang berlutut di hadapannya seraya menggenggam tangan, dan membubuhi beberapa kecupan. "Kenapa hm? Kok mukanya di tekuk seperti itu?"
Ayana menggeleng pelan.
"Kenapa sayang? Senyumnya mana? Kok cemberut sih?"
Ayana lagi-lagi menggeleng, Gus Zidan membuang napas, memilih berdiri lalu duduk di atas sofa, berdekatan dengan istrinya. "Kenapa sayang? Kamu mau makan sesuatu? Atau mau ikut Mas jalan-jalan ke pondok sebentar?"
Namun, Ayana kembali menggeleng.
Gus Zidan memeluk sang istri dari samping, menghirup aroma dari parfum yang Ayana kenakan.
"Mas ... "
"Hm, dalem sayang? Kenapa?"
"Apa ndak apa-apa kalau aku ndak bantu Ummah masak?"
Gus Zidan akhirnya mengerti kegelisahan sang istri. "Gapapa sayang. Kan Ummah yang larang, ndak usah merasa ndak enak begini," bujuknya. Ia sudah cukup paham, jika perasaan ibu hamil lebih sensitif, jadi ia harus pandai-pandai dalam memilih kata seperti apa yang Gus Malik ajarkan tentang menghadapi ibu hamil.
"Sudah dong jangan sedih. Masa sudah cantik begini bibirnya cemberut begitu, hm? Mana senyumnya, coba Mas mau lihat."
Ayana memaksakan senyumannya. Pikirannya masih saja merasa tidak enak, takut mbak santri yang membantu Ummah nanti membicarakannya sayang sama sekali tidak ikut membantu. Entah kenapa semenjak hamil, ia merasa sangat overthinking begini.
Cup
Gus Zidan mencuri satu kecupan di bibir Ayana, yang membuat sang empunya melotot. "Mas! Astagfirullah!" serunya seraya memukul dada Gus Zidan yang terkekeh kena pukulannya.
"Siapa suruh bibirnya cenberut terus, kode banget minta di cium," goda Gus Zidan.
Ayana kembali melotot sebal. Sedang Gus Zidan hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya yang rapi. Oke, jangan sampai ia mebuat wanita hamil ini mengamuk.
*****
Tamu yang di tunggu-tunggu keluarga ndalem akhirnya tiba. Kyai Syamsul, sang kepala keluarga datang bersama ibu hj. Siti Aisha, sang istri dan Ning Halwa sang putri semata wayang mereka.
Keluarga besar Abah Yai Muzaki menyambut mereka penuh suka cita. "Mbak, aku kok punya perasaan ndak enak sama Ning Halwa. Tatapannya itu lho Mbak, kaya ndak suka saat Mbak di kenalkan oleh Abah sebagai istrinya Mas Zidan," Ashilla berbisik, saat semuanya mulai duduk di ruang tamu. Ia sendiri mengambil tempat yang bersebelahan dengan sang kakak ipar.
"Ssstt. Pamali, itu namanya su'udzan dek." tegur Ayana.
Ashilla hanya menghela napas, bibirnya mencebik kesal dari balik cadarnya. Kedua matanya menatap sinis pada seorang perempuan yang mengenakan cadar dengan pakaian serba biru muda itu. Entah mengapa ia merasa tidak suka, dan tatapannya kepada Ayana juga barusan tampak aneh.
Sebenarnya, Ayana jugamelihat bagaimana Ning Halwa menatapnya dengan tatapan merendahkan. Ia berpikit, apakah ada yang salah dengan tampilannya?
Namun, ia mencoba untuk mengenyahkan segala pemikiran buruk itu, dengan menyimak obrolan para orang tua.
"Mbak, bosen nggak sih?" Ashilla kembali berbisik.
Ayana hanya menggelengkan kepalanya. Ashilla ini memamg gadis ajaib, ia lebih betah berlama-lama di dalam kamarnya menonton drama korea.
"Ning Ayana, maag kalau boleh tahu berapa ya usianya sekarang?" Ning Halwa tiba-tiba bertanya.
Ashilla yang sejak awal tidak suka dengan kehadiran wanita itu, mengerutkan keningnya.
"Dua puluh delapan tahun, tahun ini Ning," jawab Ayana.
Ning Halwa tampak mengangguk. Tiba-tiba saja wanita dengan pakaian serba biru muda itu ikut duduk di satu sofa dengan Ayana dan Ashilla.
"Apaan sih? Sok akrab banget!" desis Ashilla yang hanya di dengar oleh Ayana dan dirinya sendiri.
"Ning, gimana kalau kita ngobrol di gazebo samping saja?"
"Nah, benar. Kalian ngobrol disana saja biar lebih nyaman," Ummah Aini menyetujui. "Nanti Ummah minta tolong Mbak santri buat antar minum sama camilan kesana, Ummah tahu anak gadis Ummah pasti bosan menyimak obrolan orang tua, gih sana ke gazebo samping,"
Ayana, dan Ashilla tidak bisa berkutik saat Ummah sudah memberi titah. Keduanya mengangguk, dengan sangat berat hati membawa Ning Halwa ke gazebo samping.
Kini ketiganya sudah duduk bersama, sembari menunggu minuman dan camilan datang.
"Oh Ning Ayana. Tadi lupa, umur Ning berapa?"
Hadeuuh!
Ashilla sudah sangat sebal dengan wanuta bernama Halwa ini.
"28 tahun Ning," Ayana kembali menjawab dengan senyum ramahnya.
"Tak kirain semumuran dengan Gus Zidan yang sekarang berusia 31 tahun kan?"
Ashilla dan Ayana kompak mengerutkan keningnya. Mencoba mencerna apa maksud ucapan Ning Halwa tadi. Apa maksudnya Ayana teelihat lebih tua dari Gus Zidan, begitu maksudnya?
Huh, perasaan Ayana mendadak kesal. "Maaf Ning, apa ya maksudnya?"
Ning Halwa tampak menghela napas. "Lho? Ning Ayana kurang ngerti ya?"
Lagi-lagi ucapan Ning Halwa seolah merendahkan Ayana, memandang remeh, mengejek Ayana yang terlihat bodoh baginya.
"Ning Halwa! Tolong jangan keterlaluan. Saya menghormati sampeyan karena sampeyan tamunya Ummah sama Abah. Jadi tolong, beretika yang baik, layaknya seorang tamu!" Hilang sudah kesabaran Ashilla. Ia tidak bisa membiarkan Ning Halwa terus menghina kakak iparnya.
Mbak santri yang membawa minum dan camilan datang, menyuguhkannya untuk para Ning yang tampak bersitegang.
Tiba-tiba saja---PRANG!!
"NING AYANA, SAKIT!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓
RomanceAyana Kaifiya Hanifah bercerai dengan suaminya di usia pernikahnnya yang ke-6 tahun, hanya karena belum kunjung di beri momongan. Azka suaminya berselingkuh dan menghamili wanita lain dengan dalih ingin bisa memiliki keturunan, dan parahnya lagi hal...