CDD-11 [PERMINTAAN ABAH YAI]

16.3K 879 1
                                    

Setelah mencoba mengenyahkan semua rasa was-was di hatinya. Akhirnya Ayana sampai di ndalem, sesampainya disana ia di sambut baik oleh Abah Yai Zaki, dan juga Ummah Aini seperti biasanya. Ada Ashilla, Ning Khilma juga, dan--Gus Zidan yang ikut bergabung di ruang tamu.

Dengan kehadiran semua keluarga ndalem membuat perasaannya menjadi tidak enak. Ia duduk setelah mengucap salam dan menyalami tangan Abah Yai Muzaki dan Ummah Aini.

"Hm, Mbak Ayana. Bagaimana kesannya selama mengajar disini?" Abah Yai orang pertama yang memulai pembicaraan sejak kedatangannya.

Ayana tersenyum canggung, sekali lagi duduk di antara para Ning membuat dirinya kembali insecure. “Alhamdulillah luar biasa menyenangkan Abah. Saya jadi memiliki kenangan dan pengalaman baru,” paparnya.

“Ah, sudah tiga bulan ternyata ya Mbak. Hari ini terakhir Mbak Ayana mengajar,” ucap Ummah Aini.

“Nggih Ummah. Saya sekalian mau pamit, besok pagi Saya akan langsung pulang—“

“Pulang?” Gus Zidan menyerobot begitu saja. Yang langsung mendapatkan tatapan dari semua orang.

Ning Khilma dan Ashilla terkekeh di tengah ketegangan, menertawakan kekonyolan Gus Zidan. Astaga, Gus satu itu tampaknya sudah tidak bisa menahan perasaannya lagi.

“Mas!” Abah Yai menegur sang putra.

Gus Zidan berdeham seraya menggaruk tengkuknya. “Maaf,” gumamnya.

Ummah Aini menggelengkan kepala, dan meminta kedua Ning yang tengah terkekeh itu untuk diam.

Sampeyan keluar dulu nggih Mas. Biar Abah yang berbicara,”

Gus Zidan menatap sang ayah. “Abah .... “ protesnya. Namun Abah Yai menggeleng tegas.

“Shilla, ajak Mas-mu keluar dulu,”

Inggih Abah. Ayo Mas!” seru Ashilla yang di ikuti oleh Ning Khilma di belakangnya.

Walau enggan, akhirnya Gus Zidan menuruti perintah orang tua nya.

Kini hanya tersisa Ayana, Abah Yai, dana juga Ummah Aini. Ketegangan Ayana rasakan melihat pengasuh pesantren ini menatapnya dengan serius. "Mbak, ngapunten sebelumnya. Seperti yang sudah kami tahu, jika masa  mengajar Mbak Ayana sudah selesai hari ini,"

Ayana mengangguk menunggu kelanjutan ucapan Abah Yai yang tampaknya masih belum selesai. "Mbak Ayana juga sudah pamit dan akan berangkat pulang besok pagi nggih?"

"Inggih Abah Yai."

Abah Yai tampak menatap Ummah Aini, dan sang istri mengangguk pelan. Lagi-lagi itu tidak luput dari pandangan Ayana yang mendadak berdebar tidak keruan, ia takut selama mengajar ada banyak hal yang tidak di sadarinya menimbulkan masalah dengan beberapa murid yang mungkin mengadu kepada Ummah dan Abah. "Tapi Mbak. Apa Abah boleh bertanya sesuatu?"

Ayana mengangguk kaku. Suaranya tiba-tiba mendadak hilang entah kemana, seiring dengan suasana yang mendadak sangat serius ini. Ia bertanya dalam hati, pertanyaan apa kiranya yang akan Abah Yai tanyakan kepadanya?

"Boleh Abah. Apa yang ingin Abah tanyakan?" ucapnya dengan lirih, seolah suaranya nyaris habis.

"Ngapunten Mbak. Seperti yang sudah kami tahu, Mbak Ayana kini telah sendiri dengan status yang berbeda sebelumnya. Mbak sekali lagi mohon maaf, apakah Mbak Ayana sudah memiliki calon?"

Kedua mata Ayana mengerjap, perasaan was-was nya menguap begitu saja. Ia lega karena tidak ada catatan buruk selama dirinya mengajar. Tapi, kenapa Abah bertanya soal calon kepadanya?

Apalagi melihat Ummah Aini yang beranjak dari kursinya dan memilih duduk di sampingnya seraya menggenggam kedua tangannya, tentu membuat Ayana semakin terkejut dan kembali di landa was-was.

Jujur saja, selama ia telah bercerai dari suaminya ia memang belum berpikiran untuk menikah dulu. "Ndak ada Abah," jawabnya. Setelah itu ia melihat senyum cerah di kedua orang tua sahabatnya itu.

"Alhamdulillah Abah. Ternyata Mbak Ayana belum ada calon,"

"Inggih Ummah."

Ayana mengernyitkan dahinya. Kenapa Ummah Aini dan Abah Yai terlihat senang sekali dengan jawabannya?

"Mbak Ayana, kami ingin melamar Mbak Ayana untuk putra kami Gus Zidan," ucap Abah Yai.

Deg ... deg ... deg

Jantung Ayana berdebar dengan kencang, pendengarannya tiba-tiba hening dalam sesaat. Lalu ia mengerjap dan menatap Ummah Aini yang tersenyum kepadanya, lalu beralih menatap kepada Abah Yai. "Ngapunten Abah. Apa saya salah dengar?" Demi apa pun, Ayana merasa ini semua mimpi. Abah Yai menginginkannya menjadi calon istri Gus Zidan, yang benar saja? Gus Zidan mana mau dengan seorang janda sepertinya.

Ummah Aini mengusap punggung tangan Ayana yang berada di genggamannya. Menarik Ayana yang masih bingung dengan apa yang terjadi hari ini. "Ndak Mbak. Betul, kami memang sedang melamar Mbak Ayana untuk Zidan," paoar Ummah Aini.

"Tapi ummah, saya seorang janda .... " cicitnya, bahkan kini kedua matanya mulai berkaca-kaca. Jika ini semua benar, ia merasa sangat tidak pantas untuk seorang Gus Zidan yang jauh di atasnya dalam segala hal.

"Inggih, kami tahu Mbak. Gus Zidan bahkan ndak mempermasalahkan itu. Kami juga akan tetap keras kepala untuk meminta Mbak Ayana untuk Zidan," timpal Abah Yai.

Ayana menundukkan kepalanya, kedua matanya semakin berkaca-kaca. 'Ya Allah. Saya senang, tapi juga sedih. Gus Zidan terlalu sempurna untuk saya,' batinnya berucap lirih.

Melihat Ayana yang menunduk, Ummah Aini melepaskan genggaman tangannya, dan memeluk Ayana. "Mbak Ayana ndak harus menjawab sekarang. Jangan merasa terbebani dengan ini Mbak,"

"Inggih Mbak Ayana bisa menjawab ketika sudah siap saja. Kami akan menunggi sampai Mbak siap. Berdoalah dan meminta petunjuk kepada Allah melalui istikharah Mbak,"

Ayana mengangguk di dalam pelukan Ummah Aini. Lalu ia menjawab setelah melepaskan pelukannya "Inggih Abah, Ummah. Saya mohon izin meminta waktu berpikir, bagaimana pun saya pernah gagal dalam pernikahan,"

"Inggih Mbak. Mbak bisa menelepon Ummah jika sudah siap menjawab. Insyaallah, baik buruknya jawaban dari Mbak, kami sekeluarga akan terima dengan lapang dada,"

Ayana mengangguk, menyeka air mata yang jatuh di kedua pipinya. "Matur nuwun Ummah, Abah,"

Ummah Aini dan Abah Yai mengangguk. "Sama-sama Mbak. Pikirkan semuanya baik-baik ya Mbak," tambah Ummah Aini.

Setelah itu ia pamit dari ndalem, dari kejauhan ia melihat Gus Zidan yang tengah kesal karena terus di goda oleh Ashilla. Ia tersenyum getir, "Gus. Apa njenengan masih akan melamar saya setelah tahu jika saya tidak bisa memberikan keturunan?" gumamnya.

Jauh di lubuk hatinya Ayana takut. Ia takut terluka untuk kedua kalinya, ia takut Gus Zidan akan berubah saat tahu asan mengapa ia dan mantan suaminya bercerai.

Ia butuh waktu yang banyak untuk memikirkan permintaan dari Abah Yai. Ia tidak ingin pernikahannya kembali gagal lagi, ia akan jujur kepada Gus Zidan tentang dirinya yang tidak bisa memberikan keturunan. Setidaknya jika Gus Zidan menyesal sekarang dirinya tidak akan lagi mengalami kegagalan dalam pernikahan.

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang