CDD-32 [MAS ZIDAN JAHAT!!]

14.7K 668 3
                                    

"Mas, tolong ya. Jangan dekat-dekat aku!"

Gus Zidan dan Ayana menahan tawa, melihat wajah Gus Malik yang tertekan karena istrinya masih tidak mau dekat-dekat dengannya. Ya, setelah drama di luar tadi, keduanya memutuskan masuk bersama dengan Ummah Aini yang juga tengah menahan tawanya kini.

"Ya sudah, kalau gitu Mas tunggu di luar saja deh. Serba salah terus," gerutunya.

Ning Khilma mendelik kesal, ia memilih mendekat ke sisi ranjang Ayana. "Gimana Ning, sudah mendingan?" tanya Ning Khilma, yang sesekali mencuri pandang kepada suaminya yang duduk di sofa bersama Gus Zidan.

Ayana berdeham, "Tapi masih lemas Ning. Ning apa ndak pernah merasakan mual sampai seperti ini?"

Ning Khilma menggeleng. "Alhamdulillah ndak merasakan mual, muntah Ning. Cuma mood yang berubah-ubah, sama ndak mau dekat-dekat sama Mas Malik."

Ayana terkekeh, begitu pun Ummah Aini. "Terus tidurnya piye Ning? Opo pisah kamar?" tanya Ayana lagi.

"Ya ndak pisah kamar. Gimana ya, ndak mau deket-deket tapi ndak mau di tinggal juga. Gitu deh pokoknya, susah di jelaskan."

"Ibu hamil sifatnya memang suka di luar nalar. Kaya ndak masuk akal, tapi itu bener terjadi," Ummah Aini menimpali.

"Nah, iyakan Ummah. Memang begitu," jawab Ning Khilma.

Gus Zidan, dan Gus Malik tampaknya sedang serius membahas pekerjaan, terlihat dari keduanya yang tidak terganggu dengan pembicaraan random dua ibu hamil itu.

"Tapi kok Gus Malik bisa berangkat kerja? Katanya ndak mau jauh-jauhan?" Ayana lagi-lagi merasa tertarik dengan cerita masa ngidamnya Ning Khilma.

Ning Khilma mengusap perutnya, "Mas Malik itu punya dua handphone Ning."

"Dua?" tanya Ayana.

"Iya, satunya untuk kerja. Satunya lagi khusus buat video call seharian sama aku!"

Ayana meringis, ada-ada saja Ning Khilma ini. Benar apa kata Ummah, ndak masuk akal, tapi itu memang bisa terjadi.

Ayana melirik sang suami yang masih sibuk dengan Gus Malik. Ia terkekeh pelan, saat sang suami tengah menatapnya dengan tersenyum dan memberikan simbol hati dengan jari tangannya, ala-ala remaja kekinian. Entah darimana suaminya itu belajar hal seperti itu, tapi dirinya diam-diam tersipu dengan tingkah suaminya.

"Duuh, Ummah. Kita pindah saja yuk, ke Mars. Dunia ini hanya milik orang yang sedang jatuh cinta," sindir Ning Khilma yang melihat tingkah Gus Zidan barusan.

Ayana, Ning Khilma, dan Ummah Aini tertawa bersama. Ketiganya kemudian terlibat obrolan seru, mulai dari hal-hal yang di larang di lakukan oleh ibu hamil, sampai hal random lainnya. Tak sadar, jika waktu dzuhur sudah tiba.

Gus Malik, dan Gus Zidan juga tampak sudah selesai berbincang. "Gus, sampeyan beruntung. Ning Ayana maunya nempel terus, sedangkan aku kaya suami yang ndak punya istri," keluh Gus Malik.

Gus Zidan tertawa, lalu menepuk bahu sahabatnya. "Heleh, kalau sampai Ning Khilma dengar omongane sampeyan, bisa di amuk!"

"Yo jangan sampe denger. Kalau sampe Ning Khilma tahu pembicaraan ini, berarti sampeyan yang ember!"

Gus Zidan terbahak.

"Ndak usah ketawa Gus. Pekerjaan sampeyan masih menumpuk di kantor!"

"Perasaan yang hamil iku Ning Khilma, tapi yang sensitif kok sampeyan sih?" Gus Zidan tertawa puas melihat wajah kesal Gus Malik seraya melotot tajam padanya.

"Awas jatoh biji mata sampeyan," ucap Gus Zidan sebelum akhirnya berjalan menghampiri sang istri yang tengah berbincang dengan Ummah, dan juga Ning Khilma.

Ning Khilma menghampiri Gus Malik, "Mas. Ayo sholat dulu, nanti kita pulang. Tapi, aku mau di beliin nasi padang ya Mas," pintanya.

Gus Malik menghela napas, "Iya sayang. Ayo pamit dulu sama Ning, dan Gus,"

Ning Khilma mengangguk, menggandeng tangan suaminya yang tak luput dari pandangan Ayana. Lagi-lagi ia merasa heran, bukankah Ning Khilma tidak mau dekat-dekat dengan Gus Malik? Tapi mengapa ia yang inisiatif menggandeng suaminya?

"Kenapa sayang?" tanya Gus Zidan yang melihat kening istrinya mengerut.

"Gus, Ning. Kami pamit ya, cepet sembuh ya. Biar ibu, dan bayinya juga sehat," ucap Gus Malik.

"Inggih, matur suwun ya Gus, Ning," Balas Ayana.

"Assalamualaikum!!"

"Waalaikumsallam!"

*****

"Jadi gitu lho Mas ceritanya!"

Gus Zidan mengangguk, dengan Ayana yang menyandarkan kepalanya pada dada bidang miliknya. Istrinya ini baru saja membicarakan tentang Ning Khilma yang tidak mau dekat-dekat dengan suaminya, tapi tidak mau berjauhan juga. Bukan apa-apa, menurutnya itu aneh, sangat aneh sekali.

Gus Zidan dan Ayana duduk di agas brankar, berbagi selimut juga karena beberapa saat lalu Ayana merengek minta di temani mengobrol di atas brankar, Ayana juga minta tidur di peluk oleh suaminya.

Sementara Ummah Aini sudah di jemput pulang oleh Ashilla. Anak itu begitu panik melihat Ayana yang harus di rawat beberapa hari di rumah sakit, menangis lebay seolah tidak akan bertemu lagi dengan sang kakak ipar.

"Mas, aku nyusahin Mas terus ya?" tiba-tiba saja nada bicara istrinya menjadi sendu.

Gus Zidan merangkul bahu istrinya, memberikan usapan lembut yang menenangkan, seraya mengecup pelipis sang istri. "Ndak ngerepotin sayang. Mas yang salah, udah bikin kamu kesusahan seperti ini. Wes kenapa tiba-tiba sedih, hm?"

Bibir Ayana mengerucut. "Mas. Mau minta tolong boleh?"

Gus Zidan mengerutkan keningnya. "Boleh sayang. Mau minta tolong apa? Mau antar ke kamar mandi? Atau mau beli sesuatu?"

"Tapi jangan marah."

Gus Zidan kembali mengecup pelipis sang istri. "Janji, Mas ndak akan marah. Ayo sayangku mau apa?"

"Mau beli Arumanis .... " cicitnya.

"Apa sayang? Sayang mau beli apa?"

Ayana menggigit bibirnya. Gus Zidan menyentuh bibir sang istri, "Jangan di gigit. Ayo bilang, sayangku ini mau apa, hm?"

"Mau arumanis, tapi bentuk love."

Gus Zidan mengerutkan kening. "Arumanis bentuk love?"

Ayana mengangguk. "Boleh kan Mas?"

"Ya boleh sayang," masalahnya ia tidak tahu harus mencari kemana.

"Bener?" Tanya Ayana dengan wajah penuh harap, yang menggemaskan di mata Gus Zidan.

Gus Zidan berdeham. "Iya sayang. Tapi Yang--Mas ndak tahu belinya dimana?"

"Aku tau!!" Ayana berseru dengan riang, sangat antusias sekali.

"Dimana sayang?"

"Pasar malam yang waktu itu kita beli jajan, aku sempat lihat ada yang jual itu Mas!"

Gus Zidan mengerjapkan kedua matanya. "Pa--pasar malam sayang?"

Ayana mengangguk. "Iya Mas. Ya, beliin pliiss,"

Gus Zidan mengangguk kaku. Bukan, bukan masalah arumanis nya, tapi pasae malamnya sudah tutup. Sudah pindah ke tempat lain.

"Sayang. Maaf ya. Maaf sekali, anu--itu--"

"Kenapa? Mas nggak mau ya?"

Gus Zidan menggeleng. Benar kata Gus Malik, menghadapi ibu hamil tidak mudah. "Bukan sayangku. Bukan tidak mau, tapi--"

"Tapi apa Mas?" Nada suara Ayana terdengar ingin menangis. "Mas Zidan ndak mau di repotkan gitu?"

"Buk--"

Ayana tiba-tiba saja menangis dengan kenncang, seraya memukul dada Gus Zidan dengan tangannya yang tidak di infus. "MAS ZIDAN JAHAAATT!!"

Gus Zidan meringis. Ya Allah, ibu hamil benar-benar makhluk yang rumit!

CINTA DALAM DIAM [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang